Fuchi Kasane, anak dari
seorang artis cantik yang melegenda. Ia mewarisi kemampuan berakting ibunya.
Namun sayang, parasnya tak secantik orang tuanya. Semaca kecil, ia bahkan
menjadi bulan-bulanan teman sekelasnya karena parasnya yang dianggap jelek.
Sebelum ibunda Kasane meninggal, ia mewariskan sebuah lipstik kepada Kasane.
Lipstik tersebut memiliki kekuatan yang misterius. Kasane dapat bertukar wajah
dengan orang lain ketika ia menggunakan lipstik tersebut lalu mencium orang
yang ingin ia tukar wajahnya.
Suatu saat, Kasane
dipertemukan dengan seorang Tanzawa Nina. Nina adalah seorang artis amatir
dengan paras yang cantik. Mereka berdua pun sepakat untuk bertukar wajah.
Kasane memanfaatkan wajah cantik Nina untuk mendapatkan kesempatan berkarir di
atas panggung teater. Berkat paras cantik serta bakat aktingnya yang alamiah,
Kasane dapat bermain di sebuah pertunjukan teatrikal bersama sutradara dan artis-artis
besar lainnya. Namun, Nina ternyata juga berencana untuk memanfaatkan kemampuan
berakting Kasane. Ia ingin Kasane melambungkan namanya sebagai artis, lalu mengambil
keuntungannya ketika namanya sudah besar nantinya.
Oke, sebelum lanjut,
sepertinya gue harus mengucapkan terima kasih ke salah satu followers gue yang
merekomendasikan film ini. Dalam kolom komentar di salah satu postingan instagram
gue, dia bilang “Btw, have you seen Tao chan in Kasane? Her devilish side in
Kasane also worth to watch.”
Yang mana, memang benar
adanya. Bahkan, ketimbang devilish sidenya, akting keseluruhan dari seorang Tao
di film ini berhasil bikin gue takjub. Tentu ketakjuban gue juga sangat pantas
untuk ditunjukkan ke mbak Yoshine Kyoko yang jadi lawan main mbak Tao di film
ini. Keduanya dapat porsi dan tingkat kesulitan akting yang sama besarnya. Dan mereka
juga sama-sama bisa mengeksekusi dua tokoh yang sangat berbeda itu secara
bergantian. Buat gue, memang di sana daya tarik dari film ini.
Kalo kita ngomongin
genre pun, mungkin ini satu-satunya film bergenre pure suspense yang bisa gue sebut
sebagai film bagus. Kecuali film ini, semua film atau drama bagus bergenre
suspense pasti punya genre lain yang jadi main genrenya. Entah itu crime, gore,
ataupun horror. (Meski sebenernya masih argueable kalo film ini dibilang pure
suspense. Beberapa orang akan bilang ini film main genrenya thriller atau
bahkan horror. Tapi, untuk film film Jepang gini, gue memilih untuk menjadikan
asianwiki sebagai patokan.)
Sebenernya gue bisa aja
ngomong panjang kali lebar untuk menggambarkan ketakjuban gue sama kualitas
permainan peran dari mbak Tao dan mbak Kyoko di film ini. Specially buat mbak
Tao sih yang kalo ditotal, doi meranin empat tokoh sekaligus di satu film ini.
Gokil memang. Tapi rasanya, pesan yang ingin disampaikan cerita ini rasanya
lebih menarik lagi kalo dibahas. Yes, di tulisan ini gue mau bahas tipis-tipis aja
seputar privilege. Dan kalo mengacu ke konteks film Kasane, tentu beauty
privilege yang jadi bahan gorengannya.
Oke, sampe sini mungkin
gue harus mengingatkan ke kalian yang belum nonton dan penasaran sama filmnya,
tulisan setelah ini mungkin akan mengandung banyak spoiler. Terserah kalian mau
tetap lanjut baca atau close tab terus nonton filmnya dulu.
Gue adalah orang yang
sangat percaya bahwa privilege dalam hidup itu nyata. Sekali lagi, sangat percaya.
Sudah nyata, macam-macam pula bentuknya. Ada bloodline privilege, economical
privilege, dan yang paling argueable, appearance privilege. Meskipun gue tetap
akan bilang bullshit kalo dibilang itu argueable. Enggak coy, appearance
privilege does exist. Even lo bilang kalo appearence privilege itu bullshit
karena ada yang namanya oplas, well, they have economical privilege then.
Balik ke film, Kasane
dengan sukses menyampaikan pesan itu melalui ceritanya. Ada perbedaan penokohan
yang tipis antara seorang Kasane dengan wajahnya sendiri dengan Kasane berwajah
Nina. Tipis, tapi sangant noticeable. Entah itu posisi kepala Kasane ketika
berbicara dengan orang lain, gestur tangan, sampe nada bicaranya. Apakah itu
karena memang pemainnya beda?
Gue rasa bukan. Karena baik tokoh Kasane maupun
Nina aja itu sebenernya jauh dari zona nyamannya mbak Tao. Gue ga tau kalo mbak
Kyoko karena ini pertama kalinya nonton beliau. Agak subjektif memang, tapi
artinya, si artis ga ngebawa sosok real lifenya maupun permainan zona nyamannya
baik di tokoh Kasane maupun Nina. Detail dari akting atau permainan peran si
artis, bisa dikalibrasi sesuai kemauan artisnya, atau dalam konteks ini, gue
percaya sang sutradara lah orang di balik perbedaan penokohan tipis yang gue
jelasin di atas.
Ada satu tulisan opini di
huffpost yang gue inget, isinya tentang tiga benefit yang bisa lo dapet kalo lo
dianggap cantik oleh konsensus. Power, Happiness, dan Freedom. Dan film Kasane mengamini
ketiganya. Btw, isi artikelnya bisa lo cari di google pake keyword seperti “huffpost
beauty privilege”.
Kalo bicara power,
selain kepercayaan diri yang langsung ditunjukkan ketika Kasane pertama kali
ngambil wajah Nina, juga ditunjukkan dengan Kasane yang bisa ikut audisi
pertamanya dengan wajah Nina. Apa Kasane bisa ikut audisinya kalo dia pake
wajahnya sendiri? Gue rasa jawaban kita akan serupa. Jangankan ikut audisinya,
baru sampe lobby gedung mungkin doi udah diusir. Kekuatan wajah cantik juga
berkali-kali disampaikan secara verbal oleh karakter-karakter di dalam filmnya.
Berkali-kali, berulang-ulang, sampai gue rasa, semua yang menonton film ini
bisa langsung sadar pesan yang ingin disampaikan cerita ini.
Selanjutnya ada
happiness atau kebahagiaan. Apakah wajah cantik Nina bisa membawa kebahagiaan
bagi Kasane? Tanpa bicara bahagia dengan ketenaran itu relatif pun rasanya kebahagiaan
Kasane tetap terekam jelas. Kasane yang dihujat bahkan diusir oleh adik ibunya,
jelas terlihat bahagia ketika dimanja oleh ibunda dari Tanzawa Nina. Tentu
saja, dengan wajah Nina.
Lalu ada freedom. Ini mungkin
agak tricky dan pesannya yang paling tipis. Tapi gue rasa, kebebasan berbicara
di media yang Kasane dapat dengan memakai wajah Nina, cukup menggambarkan sebuah
kebebasan. Bahkan, kebebasan juga ia dapat untuk hal-hal di luar karirnya.
Contohnya, jatuh cinta. Rasanya tergambarkan sudah kebebasan untuk jatuh cinta
dalam wajah Nina. Bahkan kepada seorang sutradara muda berbakat yang sukses sekalipun.
Ada satu hal yang gue
suka dari ending film ini. Saking kencengnya pesan tentang beauty privilege
yang ingin disampaikan, sampe sampe antitesis dari konsep beauty privilege
serasa ditendang jauh-jauh di penghujung film. Padahal, bisa saja cerita
diakhiri dengan Nina menyayat pipinya sendiri dan membuktikan bahwa ia bisa
hidup bahagia dengan wajah yang menyeramkan. Tapi hal tersebut tidak terjadi. Ketimbang
menulis cerita seperti itu, penulis cerita ini memilih untuk tetap membiarkan
Kasane menggunakan wajah cantik Nina untuk menuntaskan permainan teatrikalnya. Ditambah
pesan verbal yang disampaikan benar-benar menggambarkan bahwa kepemilikan atas
paras cantik benar-benar bisa memuaskan si empunya paras tersebut.
Oiya, meskipun di awal
gue bilang kalo gue sangat percaya kalo privilege itu nyata, tapi gue juga
setuju kalau dibilang bahwa privilege yang didapat akan punya tanggung jawabnya
masing-masing. Kalo kata uncle Ben, “with great power comes great resposibility”.
Atau kalo dikaitkan ke film Kasane, kita bisa liat gimana Kasane yang dibentak beberapa
kali selama latihannya. Atau Kasane yang entah kenapa marah ketika ia sadar
bahwa ia mengikuti jejak ibundanya. Semua itu gambaran dari tekanan yang ia
dapatkan sebagai ganjaran atas wajah cantik dan lesatan karirnya.
Selain privilege dan
tanggung jawab pun, kita bisa liat di film ini kalo kecantikan pada akhirnya
mendatangkan keserakahan. Hasrat untuk memiliki atau menguasai privilege itu
sendiri yang ditunjukkan di paruh akhir film. Gambaran itu diperkuat dengan
lagu “Black Bird” yang jadi lagu penutup film yang dibawakan mbak Aimer. Lagu
yang liriknya bercerita akan keinginan untuk dicintai. Yang secara tidak
langsung, apabila mengambil konteks cerita filmnya seakan-akan mengamini bahwa
dengan paras cantik, kita dapat menggiring rasa cinta dari orang lain kepada
diri kita sendiri.
Mungkin di akhir post
ini, akan ada pembaca yang bilang kalo tulisan ini sangat arguable karena basis
gue beropini adalah opini juga. Tapi teman-teman bisa kok nemuin riset-riset
yang komprehensif soal privilege ini kalau memang niat. Entah itu yang isinya
data-data kuantitatif seperti rilis risetnya Creative Common License soal
perbandingan tingkat kecantikan yang berbanding lurus dengan besaran gaji atau
dengan kemungkinan peserta interview ditelepon balik oleh HRD perusahaan. Kalo mau
yang kualitatif pun tetap ada. Sebut saja pemaparan Lucia Klencakova di
risetnya yang ngejelasin bagaimana penampilan adalah segalanya buat kaum hawa. Risetnya
yang dikasih judul Does Appearance Matter dengan gamblang nyeritain kalo paras cantik
itu seringkali jadi kunci utama kesuksesan.
Sayangnya, gue sama
sekali tidak tertarik (setidaknya untuk saat ini) untuk ngebahas hasil riset
seputar privilege ini dalam bentuk tulisan. Tulisan ini pun gue buat dengan
tujuan murni untuk ngupas film Kasane secara mendalam. Atau setidaknya, lebih
dalam dari kupasan-kupasan yang biasa gue tulis di instagram. Gue pun tetap
mempertahankan gaya penulisan gue yang “ngepop”. Toh, ini memang blog pribadi
gue. Gak beda fungsinya dari media sosial. Cuma ga dibatesin maksimal karakter
tulisannya aja.
Yaudah lah ya, segitu
aja. Blog ini tetep akan jarang diisi. Mungkin setahun atau dua tahun lagi baru
gue publish tulisan yang lain disini. Tapi ga menutup kemungkinan juga sebulan
atau seminggu kedepan akan ada tulisan baru disini. Tergantung mood aja
intinya. Dah, makasih udah mau baca, ciao, bye-bye.
No comments:
Post a Comment