Perkembangan
pembangungan bangsa Indonesia sejak negara ini bermula, tidak, bahkan jauh dari
masa itu, nampaknya tak bisa lepas dari peran PERS yang bertindak sebagai
penyalur berbagai informasi yang dibutuhkan publik, entah itu berupa berita
politik, ekonomi, sosial, budaya, maupun berbagai macam konsumsi publik yang
lainnya. Kata PERS sendiri berasal dari kata Pers (Belanda), Press
(Inggris), ataupun Presse (Prancis)
yang secara etimologis bersumber dari bahasa latin, perssare atau premere,
yang berarti “Tekan” atau “Cetak”. Adapun secara terminologis, kata Pers dapat
berarti “Media Massa Cetak” atau “Media Cetak”. Adapun media massa merupakan alat untuk melakukan
komunikasi massa atau komunikasi publik yang memungkinkan orang dalam jumlah
banyak mendapatkan berbagai macam informasi secara serentak dalam waktu
bersamaan. Media
massa adalah alat yang digunakan dalam penyampaian pesan-pesan dari
sumber kepada khalayak (menerima) dengan menggunakan alat-alat komunikasi
mekanis seperti surat kabar, film, radio, TV (Cangara, 2002).
Di
Indonesia sendiri, Pers telah memegang peranan penting jauh sejak Negara ini
berdiri. Dr. De Haan dalam bukunya, “Oud
Batavia” (G. Kolf Batavia 1923), mengungkap secara sekilas bahwa sejak abad 17
di Batavia sudah terbit sejumlah berkala dan surat kabar. Dikatakannya, bahwa
pada tahun 1676 di Batavia telah terbit sebuah berkala bernama Kort
Bericht Eropa (berita singkat dari Eropa). Berkala yang memuat
berbagai berita dari Polandia, Prancis, Jerman, Belanda, Spanyol, Inggris, dan
Denmark ini, dicetak di Batavia oleh Abraham Van den Eede tahun 1676. Setelah
itu terbit pula Bataviase Nouvelles pada bulan Oktober
1744, Vendu Nieuws pada tanggal 23 Mei 1780, sedangkan Bataviasche
Koloniale Courant tercatat sebagai surat kabar pertama yang terbit di
Batavia tahun 1810.
Namun, bila
kita berbicara mengenai Media Massa yang berkepentingan sebagai landasan pacu
bagi kepentingan bangsa Indonesia, sejak tahun 1903 telah berdiri sebuah badan
yang memproduksi surat kabar bernama Medan
Prijaji. Munculnya surat kabar ini bisa dikatakan merupakan masa permulaan
revolusi mental melalui penyebaran informasi yang bertujuan untuk menyatukan
semangat bangsa untuk merdeka. Medan Priyayi (sebutan sesuai EYD), dipelopori
oleh R. M. Tirtoadisuryo yang juga menjabat sebagai pemimpin redaksi surat
kabar Medan Priyayi. Selain itu, beliau yang dijuluki Nestor Jurnalistik ini
menyadarkan masyarakat Indonesia kala itu bahwa surat kabar adalah alat penting
untuk menyuarakan aspirasi masyarakat. Bisa dikatakan juga bahwa Tirtoadisuryo
yang memelopori kebebasan mengemukakan aspirasi di seluruh kalangan masyarakat
Indonesia.
Hadirnya Medan Priyayi telah disambut hangat oleh bangsa kita, terutama kaum
pergerakan yang mendambakan kebebasan mengeluarkan pendapat. Buktinya tidak
lama kemudian Tjokroaminoto dari “Sarikat Islam” telah menerbitkan harian Oetoesan
Hindia. Nama Samaun (golongan kiri)
muncul dengan korannya yang namanya cukup revolusioner yakni Api, Halilintar dan Nyala.
Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara juga telah mengeluarkan koran
dengan nama yang tidak kalah galaknya, yakni Guntur
Bergerak dan Hindia Bergerak. Sementara itu di
Padangsidempuan, Parada Harahap membuat harian Benih Merdeka dan Sinar
Merdeka pada tahun 1918 dan 1922. Dan, Bung Karno pun tidak
ketinggalan pula telah memimpin harian Suara Rakyat Indonesia dan Sinar
Merdeka di tahun 1926. Tercatat pula nama harian Sinar Hindia yang
kemudian diganti menjadi Sinar Indonesia.
Raden Mas Djoko Tirtoadisuryo |
Adapun Pers di awal kemerdekaan dimulai pada saat era kependudukan Jepang di Indonesia.
Dengan munculnya ide bahwa beberapa surat kabar sunda bersatu untuk menerbitkan
surat kabar baru Tjahaja (Otista), beberapa surat kabar di Sumatera dimatikan
dan dibuat di Padang Nippo (melayu), dan Sumatera Shimbun (Jepang-Kanji). Dalam
kegiatan penting mengenai kenegaraan dan kebangsaan Indonesia, sejak persiapan
sampai pencetusan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, sejumlah wartawan pejuang
dan pejuang wartawan turut aktif terlibat di dalamnya. Di samping Soekarno, dan
Hatta, tercatat antara lain Sukardjo Wirjopranoto, Iwa Kusumasumantri, Ki Hajar
Dewantara, Otto Iskandar Dinata, G.S.S Ratulangi, Adam Malik, BM Diah, Sayuti
Melik, Sutan Sjahrir, dan lain-lain.
Otoritas
dari Pers mengalami kemunduran pada masa Demokrasi Terpimpin atau lebih akrab
jika disebut sebagai Orde Lama. Pada masa kepemimpinan Soekarno masa itu, amat
banyak Media Massa yang harus menyingkir atau disingkirkan perlahan karena
menolak untuk mengikuti ideologi dari pemerintahan Demokrasi Terpimpin atau
yang Soekarno sebut sebagai Golongan Kiri.
Pada 10 Februari 1946, Soekarno mendirikan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)
yang ditujukan untuk mengontrol gerak-gerik Pers di Indonesia. PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan yang diakui
pemerintah di masa Demokrasi Terpimpin dikelola oleh wartawan-wartawan berpaham
komunis dan yang bersimpati pada paham ini. PKI berusaha menguasai PWI dengan
sekuat tenaga karena melalui PWI, SPS, dan Pancatunggal SIT dan SIC
dikeluarkan. Dengan demikian dapat menentukan siapa yang bisa diberi SIT dan
SIC.
SIT adalah
Surat Izin Terbit dan SIC adalah Surat Izin Cetak yang pada
masa Demokrasi Terpimpin,
amatlah sukar
mendapatkannya. Semua penerbit pada tahun 1960 diwajibkan mengajukan permohonan
SIT, sebagai pengesahan dillakukannya kegiatan penyiaran. Pada bagian bawah
permohonan SIT tercantum 19 pasal pernyataan yang mengandung janji penanggung
jawab surat kabar tersebut yaitu jika ia diberi SIT akan mendukung jawab surat
kabar tersebut yaitu jika ia diberi SIT akan mendukung Manipol-Usdek (Manifestasi Politik-Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme
Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, Kepribadian Indonesia) dan
akan mematuhi pedoman yang telah dan akan dikeluarkan oleh penguasa. Pernyataan
ini dengan mudah dipergunakan oleh penguasa sebagai alat penekan surat kabar.
Menghadapi
rezim Soekarno yang menekan dan mengatur lalu lintas komunikasi massa pada masa
itu, Soe Hok Gie yang merupakan cendikiawan ulung yang terpikat pada ide,
pemikiran dan terus menerus menggunakan akal pikirannya untuk mengembangkan dan
menyajikan ide-ide yang menarik perhatiannya. Dalam pemikirannya, ia tak
segan-segan mengkritik jalannya pemerintahan. Tulisan-tulisannya menggugah hati
pembaca, menjadikan mereka menyokong sepenuhnya pandangan-pandangan yang ia
kemukakan. Jarang ada pembaca yang tidak terpengaruh tulisan-tulisannya.
kritik-kritknya dalam artikel-artikel di berbagai media massa yang kritis-tajam
dapat meggetarkan hati setiap kalangan, baik yang berada dalam tampuk kekuasaan
maupun yang menjadi korban perubahan politik.
Di
setiap tulisannya, rasa idealisme Soe Hok Gie terasa kental. Ia tidak
mampu menyembunyikan rasa gundahnya dalam melihat realita masyarakat, jika ia
dihubungkan dengan idealisme kaum muda. Bagaimana idealisme setinggi langit
menjadi sia-sia belaka ketika harus menghadapi verbalisme, pejabat, dan
kepalsuan. Mempertahankan idealisme ternyata bukan pekerjaan yang ringan,
dan itu dirasakannya sendiri ketika ia bergulat dalam catatan hariannya: “Di
Indonesia hanya ada dua pilihan. Menjadi Idealis atau Apatis. Saya sudah lama
memutuskan untuk menjadi idealis sampai batas-batas sejauh-jauhnya”[1]
Perjuangan
dari para penentang rezim Soekarno yang menyuarakan kebebasan berpendapat,
akhirnya berhasil membuat Soekarno untuk turun dari tahtanya. Namun, sayang
bagi para Pers, nampaknya mereka sama saja seperti hewan peliharaan yang hanya
berpindah kandang dari satu majikan ke majikan yang lainnya. Orde Lama tiada,
Orde Baru naik tahta, pembungkaman terhadap kebebasan Pers semakin terasa. Bukannya
kebebasan yang didapat, malah peluru perak yang siap menerjang para penyambung
lidah masyarakat ini.
Di
awal kekuasaan Orde Baru, Indonesia dijanjikan akan keterbukaan serta kebebasan
dalam berpendapat. Masyarakat saat itu bersuka-cita menyambut pemerintahan
Soeharto yang diharapkan mengubah keterpurukan pemerintahan orde lama.
Pemerintah pada saat itu harus melakukan pemulihan di segala aspek. Indonesia
mulai bangkit sedikit demi sedikit, bahkan perkembangan ekonomi pun
semakin pesat. Namun sangat tragis, bagi dunia pers di Indonesia.
Dunia pers yang seharusnya bersuka cita menyambut kebebasan pada masa orde
baru, malah sebaliknya. Pers mendapat berbagai tekanan dari pemerintah. Tidak
ada kebebasan dalam menerbitkan berita-berita miring seputar pemerintah. Bila
ada, maka media massa tersebut akan mendapatkan peringatan keras dari
pemerintah yang tentunya akan mengancam penerbitannya. Pada masa orde baru,
segala penerbitan di media massa berada dalam pengawasan pemerintah yaitu
melalui departemen penerangan. Bila ingin tetap hidup, maka media massa
tersebut harus memberitakan hal-hal yang baik tentang pemerintahan Orde Baru.
Pers seakan-akan dijadikan alat pemerintah untuk mempertahankan
kekuasaannya, sehingga pers tidak menjalankan fungsi yang sesungguhnya
yaitu sebagai pendukung dan pembela masyarakat. “Pada masa orde baru pers Indonesia disebut sebagai Pers pancasila.
Cirinya adalah bebas dan bertanggungjawab”. (Tebba, 2005 : 22).
Namun
pada kenyataannya, tidak ada yang namanya kebebasan sama sekali. Tanggal 21
Juni 1994, beberapa media massa justru dibredel setelah mengeluarkan laporan
investigasi tentang berbagai masalah penyelewengan yang dilakukan beberapa
pejabat negara. Tempo, salah satu badan penerbitan sekaligus media massa yang
pada masa itu bisa dikatakan paling masif dalam menyuarakan kebejatan
pemerintah, juga sebagai salah satu media massa yang dibredel pada tahun 1994
tersebut, nampaknya berusaha bangkit setelah pembredelan bersama para
pendukungnya, yakni anti rezim Soeharto.
Sebelum
dibredel, Tempo merupakan majalah berita mingguan yang paling penting di
Indonesia. Goenawan Mohammad selaku pemimpin editornya saat itu, merupakan
seorang penyair dan sosok intelek yang cukup terkemuka di Indonesia. Pemerintah Orde Baru memang selalu was-was terhadap Tempo,
sehingga majalah ini selalu dalam pengawasan pemerintah. Majalah ini memang
popular dengan independensinya yang tinggi dan juga keberaniannya dalam
mengungkap fakta di lapangan. Selain itu kritikan- kritikan Tempo terhadap pemerintah
dituliskan dengan kata-kata yang pedas dan bombastis. Goenawan pernah menulis
di majalah Tempo, bahwa kritik adalah bagian dari kerja jurnalisme. Motto
Tempo yang terkenal adalah “ enak dibaca dan perlu”. Meskipun berani melawan
pemerintah, namun tidak berarti Tempo bebas dari tekanan. Apalagi dalam hal
menerbitkan sebuah berita yang menyangkut politik serta keburukan pemerintah,
Tempo telah mendapatkan berkali-kali peringatan. Hingga akhirnya Tempo harus
rela dibungkam dengan aksi pembredelan itu.
Namun
setelah pembredelan 1994, wartawan Tempo aktif melakukan gerilya, seperti
mendirikan Tempo Interaktif atau mendirika ISAI (Institut Studi Arus Informasi)
para tahun 1995. Perjuangan ini menunjukan komitmen para wartawan Tempo untuk
menjunjung tinggi kebebasan dan hak Pers yang dibelenggu pada zaman Orde Baru.
Setelah Orde Baru tumbang pada tahun 1998, banyak media massa yang terbit kembali setelah dibredel oleh
pemerintah Orde Baru salah satunya tentu saja adalah majalah Tempo.
Tumbangnya
Orde Baru berarti merupakan lahirnya era Reformasi. Tuntutan Reformasi menggema
keseluruh aspek kehidupan bernegara termasuk sektor kehidupan Pers. Selama
Rezim Orde Baru maupun Orde Lama, Pers terbelenggu akan peraturan peraturan
pemerintahan yang berlaku. Pers Indonesia tak berdaya karena senantiasa berada
dibawah bayang bayang ancaman pencabutan surat izin terbit.
Sejak
era Reformasi, Pers Indonesia mulai menikmati kebebasan berpendapat. Dewan Pers
diaktifkan dan dimaksimalkan kinerjanya sesuai tujuh fungsi Dewan Pers sesuai
yang diamanatkan dalam Undang Undang. Banyak media massa baru yang bermunculan
setelah pemerintah mengeluarkan Undang Undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia dan Undang Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers karena dirasa
bahwa peraturan ini adalah sebuah kemajuan jika dibandingkan dengan undang
undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang nomor 21 tahun 1982 tentang Pokok-Pokok
Pers. Dalam Undang-Undang yang baru, dengan tegas disebutkan bahwa adanya
kemerdekaan Pers sebagai Hak Asasi Warga Negara. Itu sebabnya tidak lagi
disinggung perlunya surat izin terbit terhadap Pers Nasional sebagaimana
tercantum pada pasal 4 ayat 2.
Media
massa adalah suatu alat yang digunakan seseorang untuk menyampaikan informasi
kepada masyarakat luas. Media massa juga merupakan media yang selalu menjadi
perhatian masyarakat. kehidupan masyarakat pada masa sekarang ini hampir tidak
pernah lepas dari media massa baik itu televisi, Koran, radio, atau internet. Keefektifan serta peranannya yang begitu hebat menjadikan media massa menjadi
salah satu komponen penting bagi pembentukan kepribadian masyarakat.
Pers
pada masa penjajahan baik Jepang maupun Belanda, masih sedikit dan diawasi
dengan ketat oleh pihak penjajah itu sendiri. Pers pada masa demokrasi
liberal dan demokrasi terpimpin (orde lama) mulai menikmati kebebasan pers yang
lebih luas namun pers pada masa orde lama lebih cenderung digunakan sebagai
sarana untuk menyiarkan kebijakan pemerintah maupun partai oposisi. Pers
pada masa orde baru mirip pada masa orde lama, dan banyak terjadi pembredelan
media cetak yang tidak sesuai dengan ‘selera’ presiden pada masa
reformasi kegiatan jurnalisme telah dilindungi Undang-Undang Penyiaran dan Kode
etik pers, selain itu pers juga menjadi lebih terbuka dalam menyampaikan pemberitaan
karena tidak ada lagi ancaman pembredelan seperti dulu.
Mari
kita sama-sama berjuang dan membuktikan bahwa reformasi Pers bukan hanya
tentang kebebasan. Kebebasan juga sudah menjadi kewajiban untuk dibatasi dengan
tanggung jawab. Pers Indonesia butuh suatu acuan, bukan hanya sasaran
distribusi untuk keuntungan mereka sendiri, tapi juga kesadaran bahwa informasi
yang diterbitkan relevan dengan kenyataan. Karena sesuai dengan 9 elemen
jurnalistik yang dirumuskan oleh Bill Kovach, bahwa loyalitas wartawan ada pada
masyarakat, oleh karena itu wartawan harus menjaga independensinya dalam
memantau kekuasaan dan menyambung lidah yang tertindas sehingga dapat
menghasilkan konten jurnalisme yang tak hanya memikat dan relevan, tapi juga
proposional dan komprehensif.
No comments:
Post a Comment