Showing posts with label #Resensi. Show all posts
Showing posts with label #Resensi. Show all posts

Sunday, June 7, 2020

Kasane: Beauty and Fate, Beauty Privilege Does Exist

8:15 AM


Fuchi Kasane, anak dari seorang artis cantik yang melegenda. Ia mewarisi kemampuan berakting ibunya. Namun sayang, parasnya tak secantik orang tuanya. Semaca kecil, ia bahkan menjadi bulan-bulanan teman sekelasnya karena parasnya yang dianggap jelek. Sebelum ibunda Kasane meninggal, ia mewariskan sebuah lipstik kepada Kasane. Lipstik tersebut memiliki kekuatan yang misterius. Kasane dapat bertukar wajah dengan orang lain ketika ia menggunakan lipstik tersebut lalu mencium orang yang ingin ia tukar wajahnya.

Suatu saat, Kasane dipertemukan dengan seorang Tanzawa Nina. Nina adalah seorang artis amatir dengan paras yang cantik. Mereka berdua pun sepakat untuk bertukar wajah. Kasane memanfaatkan wajah cantik Nina untuk mendapatkan kesempatan berkarir di atas panggung teater. Berkat paras cantik serta bakat aktingnya yang alamiah, Kasane dapat bermain di sebuah pertunjukan teatrikal bersama sutradara dan artis-artis besar lainnya. Namun, Nina ternyata juga berencana untuk memanfaatkan kemampuan berakting Kasane. Ia ingin Kasane melambungkan namanya sebagai artis, lalu mengambil keuntungannya ketika namanya sudah besar nantinya.


Oke, sebelum lanjut, sepertinya gue harus mengucapkan terima kasih ke salah satu followers gue yang merekomendasikan film ini. Dalam kolom komentar di salah satu postingan instagram gue, dia bilang “Btw, have you seen Tao chan in Kasane? Her devilish side in Kasane also worth to watch.”

Yang mana, memang benar adanya. Bahkan, ketimbang devilish sidenya, akting keseluruhan dari seorang Tao di film ini berhasil bikin gue takjub. Tentu ketakjuban gue juga sangat pantas untuk ditunjukkan ke mbak Yoshine Kyoko yang jadi lawan main mbak Tao di film ini. Keduanya dapat porsi dan tingkat kesulitan akting yang sama besarnya. Dan mereka juga sama-sama bisa mengeksekusi dua tokoh yang sangat berbeda itu secara bergantian. Buat gue, memang di sana daya tarik dari film ini.

Kalo kita ngomongin genre pun, mungkin ini satu-satunya film bergenre pure suspense yang bisa gue sebut sebagai film bagus. Kecuali film ini, semua film atau drama bagus bergenre suspense pasti punya genre lain yang jadi main genrenya. Entah itu crime, gore, ataupun horror. (Meski sebenernya masih argueable kalo film ini dibilang pure suspense. Beberapa orang akan bilang ini film main genrenya thriller atau bahkan horror. Tapi, untuk film film Jepang gini, gue memilih untuk menjadikan asianwiki sebagai patokan.)

Sebenernya gue bisa aja ngomong panjang kali lebar untuk menggambarkan ketakjuban gue sama kualitas permainan peran dari mbak Tao dan mbak Kyoko di film ini. Specially buat mbak Tao sih yang kalo ditotal, doi meranin empat tokoh sekaligus di satu film ini. Gokil memang. Tapi rasanya, pesan yang ingin disampaikan cerita ini rasanya lebih menarik lagi kalo dibahas. Yes, di tulisan ini gue mau bahas tipis-tipis aja seputar privilege. Dan kalo mengacu ke konteks film Kasane, tentu beauty privilege yang jadi bahan gorengannya.

Oke, sampe sini mungkin gue harus mengingatkan ke kalian yang belum nonton dan penasaran sama filmnya, tulisan setelah ini mungkin akan mengandung banyak spoiler. Terserah kalian mau tetap lanjut baca atau close tab terus nonton filmnya dulu.


Gue adalah orang yang sangat percaya bahwa privilege dalam hidup itu nyata. Sekali lagi, sangat percaya. Sudah nyata, macam-macam pula bentuknya. Ada bloodline privilege, economical privilege, dan yang paling argueable, appearance privilege. Meskipun gue tetap akan bilang bullshit kalo dibilang itu argueable. Enggak coy, appearance privilege does exist. Even lo bilang kalo appearence privilege itu bullshit karena ada yang namanya oplas, well, they have economical privilege then.

Balik ke film, Kasane dengan sukses menyampaikan pesan itu melalui ceritanya. Ada perbedaan penokohan yang tipis antara seorang Kasane dengan wajahnya sendiri dengan Kasane berwajah Nina. Tipis, tapi sangant noticeable. Entah itu posisi kepala Kasane ketika berbicara dengan orang lain, gestur tangan, sampe nada bicaranya. Apakah itu karena memang pemainnya beda? 

Gue rasa bukan. Karena baik tokoh Kasane maupun Nina aja itu sebenernya jauh dari zona nyamannya mbak Tao. Gue ga tau kalo mbak Kyoko karena ini pertama kalinya nonton beliau. Agak subjektif memang, tapi artinya, si artis ga ngebawa sosok real lifenya maupun permainan zona nyamannya baik di tokoh Kasane maupun Nina. Detail dari akting atau permainan peran si artis, bisa dikalibrasi sesuai kemauan artisnya, atau dalam konteks ini, gue percaya sang sutradara lah orang di balik perbedaan penokohan tipis yang gue jelasin di atas.


Ada satu tulisan opini di huffpost yang gue inget, isinya tentang tiga benefit yang bisa lo dapet kalo lo dianggap cantik oleh konsensus. Power, Happiness, dan Freedom. Dan film Kasane mengamini ketiganya. Btw, isi artikelnya bisa lo cari di google pake keyword seperti “huffpost beauty privilege”.

Kalo bicara power, selain kepercayaan diri yang langsung ditunjukkan ketika Kasane pertama kali ngambil wajah Nina, juga ditunjukkan dengan Kasane yang bisa ikut audisi pertamanya dengan wajah Nina. Apa Kasane bisa ikut audisinya kalo dia pake wajahnya sendiri? Gue rasa jawaban kita akan serupa. Jangankan ikut audisinya, baru sampe lobby gedung mungkin doi udah diusir. Kekuatan wajah cantik juga berkali-kali disampaikan secara verbal oleh karakter-karakter di dalam filmnya. Berkali-kali, berulang-ulang, sampai gue rasa, semua yang menonton film ini bisa langsung sadar pesan yang ingin disampaikan cerita ini.

Selanjutnya ada happiness atau kebahagiaan. Apakah wajah cantik Nina bisa membawa kebahagiaan bagi Kasane? Tanpa bicara bahagia dengan ketenaran itu relatif pun rasanya kebahagiaan Kasane tetap terekam jelas. Kasane yang dihujat bahkan diusir oleh adik ibunya, jelas terlihat bahagia ketika dimanja oleh ibunda dari Tanzawa Nina. Tentu saja, dengan wajah Nina.

Lalu ada freedom. Ini mungkin agak tricky dan pesannya yang paling tipis. Tapi gue rasa, kebebasan berbicara di media yang Kasane dapat dengan memakai wajah Nina, cukup menggambarkan sebuah kebebasan. Bahkan, kebebasan juga ia dapat untuk hal-hal di luar karirnya. Contohnya, jatuh cinta. Rasanya tergambarkan sudah kebebasan untuk jatuh cinta dalam wajah Nina. Bahkan kepada seorang sutradara muda berbakat yang sukses sekalipun.


Ada satu hal yang gue suka dari ending film ini. Saking kencengnya pesan tentang beauty privilege yang ingin disampaikan, sampe sampe antitesis dari konsep beauty privilege serasa ditendang jauh-jauh di penghujung film. Padahal, bisa saja cerita diakhiri dengan Nina menyayat pipinya sendiri dan membuktikan bahwa ia bisa hidup bahagia dengan wajah yang menyeramkan. Tapi hal tersebut tidak terjadi. Ketimbang menulis cerita seperti itu, penulis cerita ini memilih untuk tetap membiarkan Kasane menggunakan wajah cantik Nina untuk menuntaskan permainan teatrikalnya. Ditambah pesan verbal yang disampaikan benar-benar menggambarkan bahwa kepemilikan atas paras cantik benar-benar bisa memuaskan si empunya paras tersebut.

Oiya, meskipun di awal gue bilang kalo gue sangat percaya kalo privilege itu nyata, tapi gue juga setuju kalau dibilang bahwa privilege yang didapat akan punya tanggung jawabnya masing-masing. Kalo kata uncle Ben, “with great power comes great resposibility”. Atau kalo dikaitkan ke film Kasane, kita bisa liat gimana Kasane yang dibentak beberapa kali selama latihannya. Atau Kasane yang entah kenapa marah ketika ia sadar bahwa ia mengikuti jejak ibundanya. Semua itu gambaran dari tekanan yang ia dapatkan sebagai ganjaran atas wajah cantik dan lesatan karirnya.

Selain privilege dan tanggung jawab pun, kita bisa liat di film ini kalo kecantikan pada akhirnya mendatangkan keserakahan. Hasrat untuk memiliki atau menguasai privilege itu sendiri yang ditunjukkan di paruh akhir film. Gambaran itu diperkuat dengan lagu “Black Bird” yang jadi lagu penutup film yang dibawakan mbak Aimer. Lagu yang liriknya bercerita akan keinginan untuk dicintai. Yang secara tidak langsung, apabila mengambil konteks cerita filmnya seakan-akan mengamini bahwa dengan paras cantik, kita dapat menggiring rasa cinta dari orang lain kepada diri kita sendiri.

Mungkin di akhir post ini, akan ada pembaca yang bilang kalo tulisan ini sangat arguable karena basis gue beropini adalah opini juga. Tapi teman-teman bisa kok nemuin riset-riset yang komprehensif soal privilege ini kalau memang niat. Entah itu yang isinya data-data kuantitatif seperti rilis risetnya Creative Common License soal perbandingan tingkat kecantikan yang berbanding lurus dengan besaran gaji atau dengan kemungkinan peserta interview ditelepon balik oleh HRD perusahaan. Kalo mau yang kualitatif pun tetap ada. Sebut saja pemaparan Lucia Klencakova di risetnya yang ngejelasin bagaimana penampilan adalah segalanya buat kaum hawa. Risetnya yang dikasih judul Does Appearance Matter dengan gamblang nyeritain kalo paras cantik itu seringkali jadi kunci utama kesuksesan.

Sayangnya, gue sama sekali tidak tertarik (setidaknya untuk saat ini) untuk ngebahas hasil riset seputar privilege ini dalam bentuk tulisan. Tulisan ini pun gue buat dengan tujuan murni untuk ngupas film Kasane secara mendalam. Atau setidaknya, lebih dalam dari kupasan-kupasan yang biasa gue tulis di instagram. Gue pun tetap mempertahankan gaya penulisan gue yang “ngepop”. Toh, ini memang blog pribadi gue. Gak beda fungsinya dari media sosial. Cuma ga dibatesin maksimal karakter tulisannya aja.

Yaudah lah ya, segitu aja. Blog ini tetep akan jarang diisi. Mungkin setahun atau dua tahun lagi baru gue publish tulisan yang lain disini. Tapi ga menutup kemungkinan juga sebulan atau seminggu kedepan akan ada tulisan baru disini. Tergantung mood aja intinya. Dah, makasih udah mau baca, ciao, bye-bye.

Tuesday, November 29, 2016

Berani Untuk Didengar | Resensi JURU BICARA - Pandji Pragiwaksono

2:17 AM
*note* JADI INI SEBENERNYA BUAT TUGAS KULIAH GUE, DARIPADA MUBAZIR CUMAN BUAT MASUK KE NILAI TUGAS, MENDING MASUKIN KE BLOG GUE JUGA KAN 

Judul Buku: JURU BICARA

Penulis: Pandji Pragiwaksono

Penyunting: Eka Saputra & Nurjannah Intan

Penerbit: PT Bentang Pustaka

Cetakan: Pertama, 2016

Jumlah Halaman: x + 182 halaman

=========================================================

ULASAN SINGKAT
Sesuai dengan judul bukunya, didalam JURU BICARA Pandji sang penulis buku ini mengajak kita untuk bersama-sama meluaskan sudut pandang kita agar dapat memberanikan diri untuk mengeluarkan berbagai aspirasi yang ada yang ada di pikiran kita secara bebas dan terbuka, namun tetap dapat kita pertanggungjawabkan keabsahan dan orisinalitasnya.

Karena pada zaman dimana media sosial kini telah menjadi salah satu media yang paling banyak digunakan sebagai media untuk mengkomunikasikan isi pikiran kita kepada orang orang yang tak terjangkau oleh kita untuk bertemu tatap muka, pada kenyataannya masih banyak orang yang takut untuk berpendapat karena merasa apa yang akan dia sampaikan berbeda dengan keyakinan yang ada di masyarakat. Takut bahwa suaranya akan tak didengar atau bahkan tenggelam oleh riuhnya pembicaraan lain yang dianggap lebih penting.

Dari buku ini pula kita dapat belajar bahwa dengan menulis, kita bisa membuat orang lain membaca; dan selama ada yang membaca, maka ada yang belajar; dan selama ada yang belajar, maka masih ada harapan akan kemajuan di indonesia. Apa yang mungkin kita anggap tidak penting untuk disampaikan, bisa jadi merupakan sesuatu yang amat penting bagi orang lain yang ingin mendengarkan.

Melalui buku ini, kita dianggap untuk meningkatkan martabat bangsa dengan meningkatkan martabat pribadi. Keberanian untuk mengkritisi sesuatu menjadi kunci bagi kita sebagai makhluk sosial untuk dapat memahami, menerima, dan belajar untuk berani berbicara demi martabat bangsa Indonesia.

=========================================================

KEUNGGULAN
Sebagai seseorang yang berkutat di dunia komersialisasi aspirasi melalui komedi, secara pribadi saya sangat menyukai setiap diksi yang digunakan oleh penulis dalam merangkai kata dan bahasa agar dapat dengan mudah dicerna setiap intisari kalimatnya oleh berbagai kalangan pembaca. Nilai-nilai positif juga pesan yang ingin disampaikan melalui tulisannya, dapat berlaku bagi setiap target market pembacanya.

=========================================================

KELEMAHAN
Karena Pandji menulis buku ini sesuai dengan apa yang dia alami selama kehidupannya, mungkin akan ada beberapa pemahaman dan interpretasi yang berbeda-beda karena tidak semua manusia memiliki sudut pandang yang sama ketika berusaha untuk memahami sesuatu. Selain itu banyak juga informasi informasi tanggung yang pada akhirnya akan merujuk kepada karya-karyanya yang lain sehingga membuat orang-orang yang belum mengkonsumsi karya-karyanya yang terdahulu merasa mendapatkan informasi yang baru setengah jalan.

=========================================================

KESIMPULAN DAN BEBERAPA POINT YANG PENTING
Saya secara pribadi sangat menyukai dimana penulis melihat bahwa tingkat intelektualitas seseorang akan terlihat dari cara ia menyikapi suatu perbedaan atau perselisihan pendapat. Terhitung 4 kali ia menuliskan kalimat bahwa “orang minder mudah tersinggung” yang mana memiliki arti lain bahwa ketika kita telah memahami akan sebab dari perbedaan yang terjadi, maka kita akan dapat menerima perbedaan tersebut tanpa harus ada perselisihan sebelumnya. 

Namun, tak ada yang sempurna, ada satu bab yang saya rasa kurang pantas untuk dikonsumsi atau bahkan dipublikasi karena dilihat dari judulnya saja sudah mengandung kata-kata yang tak pantas untuk diucapkan secara norma dan etika berbahasa. Tepatnya pada bab ke-26 di halaman ke-131.

Tapi secara keseluruhan, buku ini dapat membuka pemikiran kita yang mungkin masih kurang luas untuk mengkritisi segala aspek kehidupan entah itu aspek sosiologis, historis, maupun komersialisasi publik yang bisa dikatakan seluruhnya berguna sebagai dasar kita untuk bersosialisasi yang bertanggungjawab.

Pandji mengajarkan kita lewat bukunya sebuah arti dari kebebasan yang bertanggungjawab terutama dalam hal berkomunikasi.

=========================================================

KUTIPAN FAVORIT
Ada beberapa baris kalimat yang saya suka dari buku ini, dan diantaranya adalah sebagai berikut:

“Karena surga dunia adalah ketika kita bisa hidup dari karya kita, dari apa yang kita cintai” (Halaman 34)



“Love finds its entrance from one’s passion. One way to attract the opposite sex is to see you glow while you are passionately working on your passion.” (Halaman 163)

“Semua orang bebas ngomong apa pun, selama siap bertanggung jawab atas omongannya.” (Halaman 56)

“Usaha mempersatukan bangsa TIDAK ADA GARIS AKHIRNYA. Tidak ada ujungnya. TIADA HENTI. Selama negara itu berdiri, perjuangannya harus terus terjadi.” (Halaman 21)

“I know who I am. I am not what they say. A stupid person does not achivie the things I have achieved.” (Halaman 107)


“Kalau Anda sedang berproses, kemudian ada yang mengkritik karya Anda, maafkan dia. Hidup yang instan membuatnya gagal untuk memahami nilai sebuah proses.” (Halaman 124)

FakhriTaka

Fakhri Taka adalah seorang mahasiswa yang hobi main kartu remi, ngopi, dan nonton serial teletubbies. Sekarang lagi sibuk sibuknya nyari cara agar bisa tidur sebelum tengah malam sambil meneliti obat tidur mana yang cocok buat ditenggak.




Recent

recentposts

Random

randomposts