Tuesday, January 10, 2017

Problematika PERS Reformasi | #SERIT



Terhitung sejak turunnya rezim Orde Baru di tahun 1998, atau lebih spesifiknya sejak pemerintah mengesahkan Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, nampaknya Pers sudah menjadi bagian yang amat vital dalam kehidupan bernegara. Terlebih di zaman yang serba digital saat ini, informasi bukan hanya harus akurat tapi juga dituntut harus serba cepat. Jika di zaman Orde Baru Pers ditekan untuk menjadi anjing peliharaan pemerintah, kini Pers ditekan untuk mengedepankan layanan publik sehingga mampu menghadirkan informasi-informasi secara lugas tapi juga terkomersialkan.
            
Memang rasanya dewasa ini bila berbicara tentang kehidupan Pers, tak bisa disangkal lagi bahwa amat erat kaitannya dengan komersialisasi informasi. Tidak munafik memang bila nyatanya sebuah badan Media Massa tentunya memerlukan uang minimal untuk menghidupi badan itu sendiri. Bisa kita lihat secara kasat mata ditiap-tiap pojok koran atau majalah ibukota pasti terdapat sebuah iklan komersial yang termasuk dari roda perekonomian negara. Atau lihat saja tayangan sebuah program berita di televisi, silahkan hitung perbandingan dari berita yang disuguhkan dengan jeda iklan komersial yang ditampilkan secara selang beberapa menit. Nyatanya jarang ada program tayangan berita yang masih menjaga jumlah berita yang disuguhkannya agar lebih banyak dibandingkan iklan komersial yang ditampilkan. Sekalipun ada, pasti itu berita-berita yang laris sebagai konsumsi publik seperti berita pemilu maupun sidang kasus yang dibuat layaknya sinetron yang sebenarnya hanya sebuah pengalihan isu. Sisanya, berita-berita penuh drama yang dibumbui sendiri oleh pihak Media agar rasanya lebih menarik bagi para penonton.
            
Sebuah badan Media Massa di era ini tak dapat hidup hanya dari peran penyambung lidah masyarakat. Miris jika mendengar bahwa faktanya sebelum sebuah berita dinaikkan ke publik, tingkat rating yang menjadi acuan pertama dalam pertimbangannya. Apakah sebuah berita layak untuk dipublikasikan, prediksi jumlah konsumen lah yang menentukan. Bisa kita lihat bahwa berita berita sensasional yang nyatanya kurang relevan dengan fakta di lapangan namun bisa dengan maraknya di publikasikan. Sulit memang untuk kita temukan sebuah badan Media yang benar benar memegang teguh prinsip dari 9 dasar elemen jurnalistik yang dikemukakan oleh seorang Bill Kovach. Karena pada kenyataannya, setelah kebebasan berpendapat melalui pasal kemerdekaan Pers sebagai Hak Asasi Warga Negara dicantumkan dalam undang-undang, kini Pers tak lagi dibawah ancaman pembredelan oleh pemerintah. Hampir tak ada lagi kemurnian loyalitas pada masyarakat pada jiwa Pers pasca reformasi.
            
Jika menilik kilas balik pada 22 tahun yang lalu, dimana banyak media yang dicabut izin peredarannya oleh pemerintah, nyatanya pada saat itu lah dimana sebuah badan media benar benar menaruh perhatiannya pada masyarakat. Saat itu lah dimana jiwa Pers disetiap wartawan nasional menjaga independensinya tetap loyal pada masyarakat. Dimana Pers secara murni menjadi anjing pengawas akan kekuasaan yang dipegang oleh pemerintah, sekaligus menjadi lidah bagi mereka yang tertindas akan rezim yang berkuasa. Kita harus rindu, kita harus butuh, terlebih bagi seorang wartawan era ini yang mau tak mau harus menjaga nuraninya dalam sebuah rapat redaksi.
            
Penulis yang bercita-cita untuk menjadi seorang wartawan ini pun memiliki harapan, bahwa suatu saat, Pers Indonesia bisa untuk menempatkan loyalitasnya secara murni kepada masyarakat. Tak hanya mengincar materiil semata, namun juga menempatkan diri sebagai forum publik juga sebagai wadah akan aspirasi setiap warga negara. Dewan Pers pun sudah sewajarnya untuk rutin dalam melakukan resolusi setiap tahunnya. Mengingat perkembangan teknologi yang sangat pesat mengkuti perkembangan zaman, kebutuhan sebuah badan media pun akan terus berkembang mengikuti. Mari kita buat cita-cita Pers Nasional yang belum tercapai pada masa Orde Baru dapat terwujud di era ini. Yaitu Pers yang memiliki ciri bebas dan bertanggungjawab. “Pada masa orde baru pers Indonesia disebut sebagai Pers pancasila. Cirinya adalah bebas dan bertanggungjawab”. (Tebba, 2005 : 22).
            
Sebagai tambahan, kita sebagai masyarakat sekaligus konsumen juga harus menjadi gatekeeper bagi diri kita sendiri. Kita wajib untuk memilih dan memilah informasi-informasi mana yang bisa kita serap, mana yang harus diolah terlebih dahulu, dan mana yang informasi yang tidak relevan dengan fakta di lapangan. Biasakan untuk melakukan cross-references sebelum menyerap sebuah informasi yang didapat. Dengan begitu, mungkin dapat membantu perkembangan Pers Nasional ke arah yang lebih baik karena media pun sadar, bahwa masyarakat berhak untuk mendapatkan pesan-pesan komunikasi massa yang bermutu dan itu adalah kewajiban dari masing-masing Media Massa untuk memenuhinya

            
Reformasi bukan sekedar ucapan belaka. Segala sektor wajib kita benahi bersama. Politik, Ekonomi, Budaya, hingga tak ketinggalan sektor Media Massa. Bukan hanya pemerintah, bukan hanya badan media, tapi juga setiap warga negara mengemban amanat. Amanat dari pancasila yang memegang teguh prinsip kebebasan yang bertanggungjawab. Media Massa kini mungkin dimiliki oleh partai politik, tapi bukan berarti ia menjadi kuda untuk berpacu di kursi pemerintahan. Dan mari, sekali lagi, kita kembalikan loyalitas wartawan pada tempatnya.

No comments:

Post a Comment

FakhriTaka

Fakhri Taka adalah seorang mahasiswa yang hobi main kartu remi, ngopi, dan nonton serial teletubbies. Sekarang lagi sibuk sibuknya nyari cara agar bisa tidur sebelum tengah malam sambil meneliti obat tidur mana yang cocok buat ditenggak.




Recent

recentposts

Random

randomposts