Thursday, January 12, 2017

PERSPEDIA, Kilas Balik Kisah PERS Indonesia | #SERIT


Perkembangan pembangungan bangsa Indonesia sejak negara ini bermula, tidak, bahkan jauh dari masa itu, nampaknya tak bisa lepas dari peran PERS yang bertindak sebagai penyalur berbagai informasi yang dibutuhkan publik, entah itu berupa berita politik, ekonomi, sosial, budaya, maupun berbagai macam konsumsi publik yang lainnya. Kata PERS sendiri berasal dari kata Pers (Belanda), Press (Inggris), ataupun Presse (Prancis) yang secara etimologis bersumber dari bahasa latin, perssare atau premere, yang berarti “Tekan” atau “Cetak”. Adapun secara terminologis, kata Pers dapat berarti “Media Massa Cetak” atau “Media Cetak”. Adapun media massa merupakan alat untuk melakukan komunikasi massa atau komunikasi publik yang memungkinkan orang dalam jumlah banyak mendapatkan berbagai macam informasi secara serentak dalam waktu bersamaan. Media massa adalah alat yang digunakan dalam penyampaian pesan-pesan dari sumber kepada khalayak (menerima) dengan menggunakan alat-alat komunikasi mekanis seperti surat kabar, film, radio, TV (Cangara, 2002).

Di Indonesia sendiri, Pers telah memegang peranan penting jauh sejak Negara ini berdiri. Dr. De Haan dalam bukunya, “Oud Batavia” (G. Kolf Batavia 1923), mengungkap secara sekilas bahwa sejak abad 17 di Batavia sudah terbit sejumlah berkala dan surat kabar. Dikatakannya, bahwa pada tahun 1676 di Batavia telah terbit sebuah berkala bernama Kort Bericht Eropa (berita singkat dari Eropa). Berkala yang memuat berbagai berita dari Polandia, Prancis, Jerman, Belanda, Spanyol, Inggris, dan Denmark ini, dicetak di Batavia oleh Abraham Van den Eede tahun 1676. Setelah itu terbit pula Bataviase Nouvelles pada bulan Oktober 1744, Vendu Nieuws pada tanggal 23 Mei 1780, sedangkan Bataviasche Koloniale Courant tercatat sebagai surat kabar pertama yang terbit di Batavia tahun 1810.

Namun, bila kita berbicara mengenai Media Massa yang berkepentingan sebagai landasan pacu bagi kepentingan bangsa Indonesia, sejak tahun 1903 telah berdiri sebuah badan yang memproduksi surat kabar bernama Medan Prijaji. Munculnya surat kabar ini bisa dikatakan merupakan masa permulaan revolusi mental melalui penyebaran informasi yang bertujuan untuk menyatukan semangat bangsa untuk merdeka. Medan Priyayi (sebutan sesuai EYD), dipelopori oleh R. M. Tirtoadisuryo yang juga menjabat sebagai pemimpin redaksi surat kabar Medan Priyayi. Selain itu, beliau yang dijuluki Nestor Jurnalistik ini menyadarkan masyarakat Indonesia kala itu bahwa surat kabar adalah alat penting untuk menyuarakan aspirasi masyarakat. Bisa dikatakan juga bahwa Tirtoadisuryo yang memelopori kebebasan mengemukakan aspirasi di seluruh kalangan masyarakat Indonesia.



Hadirnya Medan Priyayi telah disambut hangat oleh bangsa kita, terutama kaum pergerakan yang mendambakan kebebasan mengeluarkan pendapat. Buktinya tidak lama kemudian Tjokroaminoto dari “Sarikat Islam” telah menerbitkan harian Oetoesan Hindia. Nama Samaun (golongan kiri) muncul dengan korannya yang namanya cukup revolusioner yakni ApiHalilintar dan Nyala. Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara juga telah mengeluarkan koran dengan nama yang tidak kalah galaknya, yakni Guntur Bergerak dan Hindia Bergerak. Sementara itu di Padangsidempuan, Parada Harahap membuat harian Benih Merdeka dan Sinar Merdeka pada tahun 1918 dan 1922. Dan, Bung Karno pun tidak ketinggalan pula telah memimpin harian Suara Rakyat Indonesia dan Sinar Merdeka di tahun 1926. Tercatat pula nama harian Sinar Hindia yang kemudian diganti menjadi Sinar Indonesia.

Raden Mas Djoko Tirtoadisuryo

Adapun Pers di awal kemerdekaan dimulai pada saat era kependudukan Jepang di Indonesia. Dengan munculnya ide bahwa beberapa surat kabar sunda bersatu untuk menerbitkan surat kabar baru Tjahaja (Otista), beberapa surat kabar di Sumatera dimatikan dan dibuat di Padang Nippo (melayu), dan Sumatera Shimbun (Jepang-Kanji). Dalam kegiatan penting mengenai kenegaraan dan kebangsaan Indonesia, sejak persiapan sampai pencetusan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, sejumlah wartawan pejuang dan pejuang wartawan turut aktif terlibat di dalamnya. Di samping Soekarno, dan Hatta, tercatat antara lain Sukardjo Wirjopranoto, Iwa Kusumasumantri, Ki Hajar Dewantara, Otto Iskandar Dinata, G.S.S Ratulangi, Adam Malik, BM Diah, Sayuti Melik, Sutan Sjahrir, dan lain-lain.

Otoritas dari Pers mengalami kemunduran pada masa Demokrasi Terpimpin atau lebih akrab jika disebut sebagai Orde Lama. Pada masa kepemimpinan Soekarno masa itu, amat banyak Media Massa yang harus menyingkir atau disingkirkan perlahan karena menolak untuk mengikuti ideologi dari pemerintahan Demokrasi Terpimpin atau yang Soekarno sebut sebagai Golongan Kiri. Pada 10 Februari 1946, Soekarno mendirikan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang ditujukan untuk mengontrol gerak-gerik Pers di Indonesia. PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan yang diakui pemerintah di masa Demokrasi Terpimpin dikelola oleh wartawan-wartawan berpaham komunis dan yang bersimpati pada paham ini. PKI berusaha menguasai PWI dengan sekuat tenaga karena melalui PWI, SPS, dan Pancatunggal SIT dan SIC dikeluarkan. Dengan demikian dapat menentukan siapa yang bisa diberi SIT dan SIC.

SIT adalah Surat Izin Terbit dan SIC adalah Surat Izin Cetak yang pada masa Demokrasi Terpimpin, amatlah sukar mendapatkannya. Semua penerbit pada tahun 1960 diwajibkan mengajukan permohonan SIT, sebagai pengesahan dillakukannya kegiatan penyiaran. Pada bagian bawah permohonan SIT tercantum 19 pasal pernyataan yang mengandung janji penanggung jawab surat kabar tersebut yaitu jika ia diberi SIT akan mendukung jawab surat kabar tersebut yaitu jika ia diberi SIT akan mendukung Manipol-Usdek (Manifestasi Politik-Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, Kepribadian Indonesia) dan akan mematuhi pedoman yang telah dan akan dikeluarkan oleh penguasa. Pernyataan ini dengan mudah dipergunakan oleh penguasa sebagai alat penekan surat kabar.

Menghadapi rezim Soekarno yang menekan dan mengatur lalu lintas komunikasi massa pada masa itu, Soe Hok Gie yang merupakan cendikiawan ulung yang terpikat pada ide, pemikiran dan terus menerus menggunakan akal pikirannya untuk mengembangkan dan menyajikan ide-ide yang menarik perhatiannya. Dalam pemikirannya, ia tak segan-segan mengkritik jalannya pemerintahan. Tulisan-tulisannya menggugah hati pembaca, menjadikan mereka menyokong sepenuhnya pandangan-pandangan yang ia kemukakan. Jarang ada pembaca yang tidak terpengaruh tulisan-tulisannya. kritik-kritknya dalam artikel-artikel di berbagai media massa yang kritis-tajam dapat meggetarkan hati setiap kalangan, baik yang berada dalam tampuk kekuasaan maupun yang menjadi korban perubahan politik.

Di setiap tulisannya, rasa  idealisme Soe Hok Gie terasa kental. Ia tidak mampu menyembunyikan rasa gundahnya dalam melihat realita masyarakat, jika ia dihubungkan dengan idealisme kaum muda. Bagaimana idealisme setinggi langit menjadi sia-sia belaka ketika harus menghadapi verbalisme, pejabat, dan kepalsuan. Mempertahankan  idealisme ternyata bukan pekerjaan yang ringan, dan itu dirasakannya sendiri ketika ia bergulat dalam catatan hariannya: “Di Indonesia hanya ada dua pilihan. Menjadi Idealis atau Apatis. Saya sudah lama memutuskan untuk menjadi idealis sampai batas-batas sejauh-jauhnya”[1]


Perjuangan dari para penentang rezim Soekarno yang menyuarakan kebebasan berpendapat, akhirnya berhasil membuat Soekarno untuk turun dari tahtanya. Namun, sayang bagi para Pers, nampaknya mereka sama saja seperti hewan peliharaan yang hanya berpindah kandang dari satu majikan ke majikan yang lainnya. Orde Lama tiada, Orde Baru naik tahta, pembungkaman terhadap kebebasan Pers semakin terasa. Bukannya kebebasan yang didapat, malah peluru perak yang siap menerjang para penyambung lidah masyarakat ini.

Di awal kekuasaan Orde Baru, Indonesia dijanjikan akan keterbukaan serta kebebasan dalam berpendapat. Masyarakat saat itu bersuka-cita menyambut pemerintahan Soeharto yang diharapkan mengubah keterpurukan pemerintahan orde lama. Pemerintah pada saat itu harus melakukan pemulihan di segala aspek. Indonesia mulai bangkit sedikit demi sedikit, bahkan perkembangan ekonomi pun semakin pesat. Namun sangat tragis, bagi dunia pers di Indonesia. Dunia pers yang seharusnya bersuka cita menyambut kebebasan pada masa orde baru, malah sebaliknya. Pers mendapat berbagai tekanan dari pemerintah. Tidak ada kebebasan dalam menerbitkan berita-berita miring seputar pemerintah. Bila ada, maka media massa tersebut akan mendapatkan peringatan keras dari pemerintah yang tentunya akan mengancam penerbitannya. Pada masa orde baru, segala penerbitan di media massa berada dalam pengawasan pemerintah yaitu melalui departemen penerangan. Bila ingin tetap hidup, maka media massa tersebut harus memberitakan hal-hal yang baik tentang pemerintahan Orde Baru. Pers seakan-akan dijadikan alat pemerintah untuk mempertahankan kekuasaannya, sehingga pers tidak menjalankan fungsi yang sesungguhnya yaitu sebagai pendukung dan pembela masyarakat. “Pada masa orde baru pers Indonesia disebut sebagai Pers pancasila. Cirinya adalah bebas dan bertanggungjawab”. (Tebba, 2005 : 22).

Namun pada kenyataannya, tidak ada yang namanya kebebasan sama sekali. Tanggal 21 Juni 1994, beberapa media massa justru dibredel setelah mengeluarkan laporan investigasi tentang berbagai masalah penyelewengan yang dilakukan beberapa pejabat negara. Tempo, salah satu badan penerbitan sekaligus media massa yang pada masa itu bisa dikatakan paling masif dalam menyuarakan kebejatan pemerintah, juga sebagai salah satu media massa yang dibredel pada tahun 1994 tersebut, nampaknya berusaha bangkit setelah pembredelan bersama para pendukungnya, yakni anti rezim Soeharto.

Sebelum dibredel, Tempo merupakan majalah berita mingguan yang paling penting di Indonesia. Goenawan Mohammad selaku pemimpin editornya saat itu, merupakan seorang penyair dan sosok intelek yang cukup terkemuka di Indonesia. Pemerintah Orde Baru memang selalu was-was terhadap Tempo, sehingga majalah ini selalu dalam pengawasan pemerintah. Majalah ini memang popular dengan independensinya yang tinggi dan juga keberaniannya dalam mengungkap fakta di lapangan. Selain itu kritikan- kritikan Tempo terhadap pemerintah dituliskan dengan kata-kata yang pedas dan bombastis. Goenawan pernah menulis di majalah Tempo, bahwa kritik adalah bagian dari kerja jurnalisme. Motto Tempo yang terkenal adalah “ enak dibaca dan perlu”. Meskipun berani melawan pemerintah, namun tidak berarti Tempo bebas dari tekanan. Apalagi dalam hal menerbitkan sebuah berita yang menyangkut politik serta keburukan pemerintah, Tempo telah mendapatkan berkali-kali peringatan. Hingga akhirnya Tempo harus rela dibungkam dengan aksi pembredelan itu.

Namun setelah pembredelan 1994, wartawan Tempo aktif melakukan gerilya, seperti mendirikan Tempo Interaktif atau mendirika ISAI (Institut Studi Arus Informasi) para tahun 1995. Perjuangan ini menunjukan komitmen para wartawan Tempo untuk menjunjung tinggi kebebasan dan hak Pers yang dibelenggu pada zaman Orde Baru. Setelah Orde Baru tumbang pada tahun 1998, banyak media massa yang terbit kembali setelah dibredel oleh pemerintah Orde Baru salah satunya tentu saja adalah majalah Tempo.

Tumbangnya Orde Baru berarti merupakan lahirnya era Reformasi. Tuntutan Reformasi menggema keseluruh aspek kehidupan bernegara termasuk sektor kehidupan Pers. Selama Rezim Orde Baru maupun Orde Lama, Pers terbelenggu akan peraturan peraturan pemerintahan yang berlaku. Pers Indonesia tak berdaya karena senantiasa berada dibawah bayang bayang ancaman pencabutan surat izin terbit.

Sejak era Reformasi, Pers Indonesia mulai menikmati kebebasan berpendapat. Dewan Pers diaktifkan dan dimaksimalkan kinerjanya sesuai tujuh fungsi Dewan Pers sesuai yang diamanatkan dalam Undang Undang. Banyak media massa baru yang bermunculan setelah pemerintah mengeluarkan Undang Undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers karena dirasa bahwa peraturan ini adalah sebuah kemajuan jika dibandingkan dengan undang undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang nomor 21 tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pers. Dalam Undang-Undang yang baru, dengan tegas disebutkan bahwa adanya kemerdekaan Pers sebagai Hak Asasi Warga Negara. Itu sebabnya tidak lagi disinggung perlunya surat izin terbit terhadap Pers Nasional sebagaimana tercantum pada pasal 4 ayat 2.

Media massa adalah suatu alat yang digunakan seseorang untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat luas. Media massa juga merupakan media yang selalu menjadi perhatian masyarakat. kehidupan masyarakat pada masa sekarang ini hampir tidak pernah lepas dari media massa baik itu televisi, Koran, radio, atau internet. Keefektifan serta peranannya yang begitu hebat menjadikan media massa menjadi salah satu komponen penting bagi pembentukan kepribadian masyarakat.


Pers pada masa penjajahan baik Jepang maupun Belanda, masih sedikit dan diawasi dengan ketat oleh pihak penjajah itu sendiri. Pers pada masa demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin (orde lama) mulai menikmati kebebasan pers yang lebih luas namun pers pada masa orde lama lebih cenderung digunakan sebagai sarana untuk menyiarkan kebijakan pemerintah maupun partai oposisi. Pers pada masa orde baru mirip pada masa orde lama, dan banyak terjadi pembredelan media cetak yang tidak sesuai dengan ‘selera’ presiden pada masa reformasi kegiatan jurnalisme telah dilindungi Undang-Undang Penyiaran dan Kode etik pers, selain itu pers juga menjadi lebih terbuka dalam menyampaikan pemberitaan karena tidak ada lagi ancaman pembredelan seperti dulu.

Mari kita sama-sama berjuang dan membuktikan bahwa reformasi Pers bukan hanya tentang kebebasan. Kebebasan juga sudah menjadi kewajiban untuk dibatasi dengan tanggung jawab. Pers Indonesia butuh suatu acuan, bukan hanya sasaran distribusi untuk keuntungan mereka sendiri, tapi juga kesadaran bahwa informasi yang diterbitkan relevan dengan kenyataan. Karena sesuai dengan 9 elemen jurnalistik yang dirumuskan oleh Bill Kovach, bahwa loyalitas wartawan ada pada masyarakat, oleh karena itu wartawan harus menjaga independensinya dalam memantau kekuasaan dan menyambung lidah yang tertindas sehingga dapat menghasilkan konten jurnalisme yang tak hanya memikat dan relevan, tapi juga proposional dan komprehensif.




[1] Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran (Jakarta : LP3ES,1983) hlm.221.

No comments:

Post a Comment

FakhriTaka

Fakhri Taka adalah seorang mahasiswa yang hobi main kartu remi, ngopi, dan nonton serial teletubbies. Sekarang lagi sibuk sibuknya nyari cara agar bisa tidur sebelum tengah malam sambil meneliti obat tidur mana yang cocok buat ditenggak.




Recent

recentposts

Random

randomposts