[%23SERIT][carousel][6]

Sunday, June 7, 2020

Kasane: Beauty and Fate, Beauty Privilege Does Exist

8:15 AM


Fuchi Kasane, anak dari seorang artis cantik yang melegenda. Ia mewarisi kemampuan berakting ibunya. Namun sayang, parasnya tak secantik orang tuanya. Semaca kecil, ia bahkan menjadi bulan-bulanan teman sekelasnya karena parasnya yang dianggap jelek. Sebelum ibunda Kasane meninggal, ia mewariskan sebuah lipstik kepada Kasane. Lipstik tersebut memiliki kekuatan yang misterius. Kasane dapat bertukar wajah dengan orang lain ketika ia menggunakan lipstik tersebut lalu mencium orang yang ingin ia tukar wajahnya.

Suatu saat, Kasane dipertemukan dengan seorang Tanzawa Nina. Nina adalah seorang artis amatir dengan paras yang cantik. Mereka berdua pun sepakat untuk bertukar wajah. Kasane memanfaatkan wajah cantik Nina untuk mendapatkan kesempatan berkarir di atas panggung teater. Berkat paras cantik serta bakat aktingnya yang alamiah, Kasane dapat bermain di sebuah pertunjukan teatrikal bersama sutradara dan artis-artis besar lainnya. Namun, Nina ternyata juga berencana untuk memanfaatkan kemampuan berakting Kasane. Ia ingin Kasane melambungkan namanya sebagai artis, lalu mengambil keuntungannya ketika namanya sudah besar nantinya.


Oke, sebelum lanjut, sepertinya gue harus mengucapkan terima kasih ke salah satu followers gue yang merekomendasikan film ini. Dalam kolom komentar di salah satu postingan instagram gue, dia bilang “Btw, have you seen Tao chan in Kasane? Her devilish side in Kasane also worth to watch.”

Yang mana, memang benar adanya. Bahkan, ketimbang devilish sidenya, akting keseluruhan dari seorang Tao di film ini berhasil bikin gue takjub. Tentu ketakjuban gue juga sangat pantas untuk ditunjukkan ke mbak Yoshine Kyoko yang jadi lawan main mbak Tao di film ini. Keduanya dapat porsi dan tingkat kesulitan akting yang sama besarnya. Dan mereka juga sama-sama bisa mengeksekusi dua tokoh yang sangat berbeda itu secara bergantian. Buat gue, memang di sana daya tarik dari film ini.

Kalo kita ngomongin genre pun, mungkin ini satu-satunya film bergenre pure suspense yang bisa gue sebut sebagai film bagus. Kecuali film ini, semua film atau drama bagus bergenre suspense pasti punya genre lain yang jadi main genrenya. Entah itu crime, gore, ataupun horror. (Meski sebenernya masih argueable kalo film ini dibilang pure suspense. Beberapa orang akan bilang ini film main genrenya thriller atau bahkan horror. Tapi, untuk film film Jepang gini, gue memilih untuk menjadikan asianwiki sebagai patokan.)

Sebenernya gue bisa aja ngomong panjang kali lebar untuk menggambarkan ketakjuban gue sama kualitas permainan peran dari mbak Tao dan mbak Kyoko di film ini. Specially buat mbak Tao sih yang kalo ditotal, doi meranin empat tokoh sekaligus di satu film ini. Gokil memang. Tapi rasanya, pesan yang ingin disampaikan cerita ini rasanya lebih menarik lagi kalo dibahas. Yes, di tulisan ini gue mau bahas tipis-tipis aja seputar privilege. Dan kalo mengacu ke konteks film Kasane, tentu beauty privilege yang jadi bahan gorengannya.

Oke, sampe sini mungkin gue harus mengingatkan ke kalian yang belum nonton dan penasaran sama filmnya, tulisan setelah ini mungkin akan mengandung banyak spoiler. Terserah kalian mau tetap lanjut baca atau close tab terus nonton filmnya dulu.


Gue adalah orang yang sangat percaya bahwa privilege dalam hidup itu nyata. Sekali lagi, sangat percaya. Sudah nyata, macam-macam pula bentuknya. Ada bloodline privilege, economical privilege, dan yang paling argueable, appearance privilege. Meskipun gue tetap akan bilang bullshit kalo dibilang itu argueable. Enggak coy, appearance privilege does exist. Even lo bilang kalo appearence privilege itu bullshit karena ada yang namanya oplas, well, they have economical privilege then.

Balik ke film, Kasane dengan sukses menyampaikan pesan itu melalui ceritanya. Ada perbedaan penokohan yang tipis antara seorang Kasane dengan wajahnya sendiri dengan Kasane berwajah Nina. Tipis, tapi sangant noticeable. Entah itu posisi kepala Kasane ketika berbicara dengan orang lain, gestur tangan, sampe nada bicaranya. Apakah itu karena memang pemainnya beda? 

Gue rasa bukan. Karena baik tokoh Kasane maupun Nina aja itu sebenernya jauh dari zona nyamannya mbak Tao. Gue ga tau kalo mbak Kyoko karena ini pertama kalinya nonton beliau. Agak subjektif memang, tapi artinya, si artis ga ngebawa sosok real lifenya maupun permainan zona nyamannya baik di tokoh Kasane maupun Nina. Detail dari akting atau permainan peran si artis, bisa dikalibrasi sesuai kemauan artisnya, atau dalam konteks ini, gue percaya sang sutradara lah orang di balik perbedaan penokohan tipis yang gue jelasin di atas.


Ada satu tulisan opini di huffpost yang gue inget, isinya tentang tiga benefit yang bisa lo dapet kalo lo dianggap cantik oleh konsensus. Power, Happiness, dan Freedom. Dan film Kasane mengamini ketiganya. Btw, isi artikelnya bisa lo cari di google pake keyword seperti “huffpost beauty privilege”.

Kalo bicara power, selain kepercayaan diri yang langsung ditunjukkan ketika Kasane pertama kali ngambil wajah Nina, juga ditunjukkan dengan Kasane yang bisa ikut audisi pertamanya dengan wajah Nina. Apa Kasane bisa ikut audisinya kalo dia pake wajahnya sendiri? Gue rasa jawaban kita akan serupa. Jangankan ikut audisinya, baru sampe lobby gedung mungkin doi udah diusir. Kekuatan wajah cantik juga berkali-kali disampaikan secara verbal oleh karakter-karakter di dalam filmnya. Berkali-kali, berulang-ulang, sampai gue rasa, semua yang menonton film ini bisa langsung sadar pesan yang ingin disampaikan cerita ini.

Selanjutnya ada happiness atau kebahagiaan. Apakah wajah cantik Nina bisa membawa kebahagiaan bagi Kasane? Tanpa bicara bahagia dengan ketenaran itu relatif pun rasanya kebahagiaan Kasane tetap terekam jelas. Kasane yang dihujat bahkan diusir oleh adik ibunya, jelas terlihat bahagia ketika dimanja oleh ibunda dari Tanzawa Nina. Tentu saja, dengan wajah Nina.

Lalu ada freedom. Ini mungkin agak tricky dan pesannya yang paling tipis. Tapi gue rasa, kebebasan berbicara di media yang Kasane dapat dengan memakai wajah Nina, cukup menggambarkan sebuah kebebasan. Bahkan, kebebasan juga ia dapat untuk hal-hal di luar karirnya. Contohnya, jatuh cinta. Rasanya tergambarkan sudah kebebasan untuk jatuh cinta dalam wajah Nina. Bahkan kepada seorang sutradara muda berbakat yang sukses sekalipun.


Ada satu hal yang gue suka dari ending film ini. Saking kencengnya pesan tentang beauty privilege yang ingin disampaikan, sampe sampe antitesis dari konsep beauty privilege serasa ditendang jauh-jauh di penghujung film. Padahal, bisa saja cerita diakhiri dengan Nina menyayat pipinya sendiri dan membuktikan bahwa ia bisa hidup bahagia dengan wajah yang menyeramkan. Tapi hal tersebut tidak terjadi. Ketimbang menulis cerita seperti itu, penulis cerita ini memilih untuk tetap membiarkan Kasane menggunakan wajah cantik Nina untuk menuntaskan permainan teatrikalnya. Ditambah pesan verbal yang disampaikan benar-benar menggambarkan bahwa kepemilikan atas paras cantik benar-benar bisa memuaskan si empunya paras tersebut.

Oiya, meskipun di awal gue bilang kalo gue sangat percaya kalo privilege itu nyata, tapi gue juga setuju kalau dibilang bahwa privilege yang didapat akan punya tanggung jawabnya masing-masing. Kalo kata uncle Ben, “with great power comes great resposibility”. Atau kalo dikaitkan ke film Kasane, kita bisa liat gimana Kasane yang dibentak beberapa kali selama latihannya. Atau Kasane yang entah kenapa marah ketika ia sadar bahwa ia mengikuti jejak ibundanya. Semua itu gambaran dari tekanan yang ia dapatkan sebagai ganjaran atas wajah cantik dan lesatan karirnya.

Selain privilege dan tanggung jawab pun, kita bisa liat di film ini kalo kecantikan pada akhirnya mendatangkan keserakahan. Hasrat untuk memiliki atau menguasai privilege itu sendiri yang ditunjukkan di paruh akhir film. Gambaran itu diperkuat dengan lagu “Black Bird” yang jadi lagu penutup film yang dibawakan mbak Aimer. Lagu yang liriknya bercerita akan keinginan untuk dicintai. Yang secara tidak langsung, apabila mengambil konteks cerita filmnya seakan-akan mengamini bahwa dengan paras cantik, kita dapat menggiring rasa cinta dari orang lain kepada diri kita sendiri.

Mungkin di akhir post ini, akan ada pembaca yang bilang kalo tulisan ini sangat arguable karena basis gue beropini adalah opini juga. Tapi teman-teman bisa kok nemuin riset-riset yang komprehensif soal privilege ini kalau memang niat. Entah itu yang isinya data-data kuantitatif seperti rilis risetnya Creative Common License soal perbandingan tingkat kecantikan yang berbanding lurus dengan besaran gaji atau dengan kemungkinan peserta interview ditelepon balik oleh HRD perusahaan. Kalo mau yang kualitatif pun tetap ada. Sebut saja pemaparan Lucia Klencakova di risetnya yang ngejelasin bagaimana penampilan adalah segalanya buat kaum hawa. Risetnya yang dikasih judul Does Appearance Matter dengan gamblang nyeritain kalo paras cantik itu seringkali jadi kunci utama kesuksesan.

Sayangnya, gue sama sekali tidak tertarik (setidaknya untuk saat ini) untuk ngebahas hasil riset seputar privilege ini dalam bentuk tulisan. Tulisan ini pun gue buat dengan tujuan murni untuk ngupas film Kasane secara mendalam. Atau setidaknya, lebih dalam dari kupasan-kupasan yang biasa gue tulis di instagram. Gue pun tetap mempertahankan gaya penulisan gue yang “ngepop”. Toh, ini memang blog pribadi gue. Gak beda fungsinya dari media sosial. Cuma ga dibatesin maksimal karakter tulisannya aja.

Yaudah lah ya, segitu aja. Blog ini tetep akan jarang diisi. Mungkin setahun atau dua tahun lagi baru gue publish tulisan yang lain disini. Tapi ga menutup kemungkinan juga sebulan atau seminggu kedepan akan ada tulisan baru disini. Tergantung mood aja intinya. Dah, makasih udah mau baca, ciao, bye-bye.

Thursday, January 12, 2017

PERSPEDIA, Kilas Balik Kisah PERS Indonesia | #SERIT

2:39 AM

Perkembangan pembangungan bangsa Indonesia sejak negara ini bermula, tidak, bahkan jauh dari masa itu, nampaknya tak bisa lepas dari peran PERS yang bertindak sebagai penyalur berbagai informasi yang dibutuhkan publik, entah itu berupa berita politik, ekonomi, sosial, budaya, maupun berbagai macam konsumsi publik yang lainnya. Kata PERS sendiri berasal dari kata Pers (Belanda), Press (Inggris), ataupun Presse (Prancis) yang secara etimologis bersumber dari bahasa latin, perssare atau premere, yang berarti “Tekan” atau “Cetak”. Adapun secara terminologis, kata Pers dapat berarti “Media Massa Cetak” atau “Media Cetak”. Adapun media massa merupakan alat untuk melakukan komunikasi massa atau komunikasi publik yang memungkinkan orang dalam jumlah banyak mendapatkan berbagai macam informasi secara serentak dalam waktu bersamaan. Media massa adalah alat yang digunakan dalam penyampaian pesan-pesan dari sumber kepada khalayak (menerima) dengan menggunakan alat-alat komunikasi mekanis seperti surat kabar, film, radio, TV (Cangara, 2002).

Di Indonesia sendiri, Pers telah memegang peranan penting jauh sejak Negara ini berdiri. Dr. De Haan dalam bukunya, “Oud Batavia” (G. Kolf Batavia 1923), mengungkap secara sekilas bahwa sejak abad 17 di Batavia sudah terbit sejumlah berkala dan surat kabar. Dikatakannya, bahwa pada tahun 1676 di Batavia telah terbit sebuah berkala bernama Kort Bericht Eropa (berita singkat dari Eropa). Berkala yang memuat berbagai berita dari Polandia, Prancis, Jerman, Belanda, Spanyol, Inggris, dan Denmark ini, dicetak di Batavia oleh Abraham Van den Eede tahun 1676. Setelah itu terbit pula Bataviase Nouvelles pada bulan Oktober 1744, Vendu Nieuws pada tanggal 23 Mei 1780, sedangkan Bataviasche Koloniale Courant tercatat sebagai surat kabar pertama yang terbit di Batavia tahun 1810.

Namun, bila kita berbicara mengenai Media Massa yang berkepentingan sebagai landasan pacu bagi kepentingan bangsa Indonesia, sejak tahun 1903 telah berdiri sebuah badan yang memproduksi surat kabar bernama Medan Prijaji. Munculnya surat kabar ini bisa dikatakan merupakan masa permulaan revolusi mental melalui penyebaran informasi yang bertujuan untuk menyatukan semangat bangsa untuk merdeka. Medan Priyayi (sebutan sesuai EYD), dipelopori oleh R. M. Tirtoadisuryo yang juga menjabat sebagai pemimpin redaksi surat kabar Medan Priyayi. Selain itu, beliau yang dijuluki Nestor Jurnalistik ini menyadarkan masyarakat Indonesia kala itu bahwa surat kabar adalah alat penting untuk menyuarakan aspirasi masyarakat. Bisa dikatakan juga bahwa Tirtoadisuryo yang memelopori kebebasan mengemukakan aspirasi di seluruh kalangan masyarakat Indonesia.



Hadirnya Medan Priyayi telah disambut hangat oleh bangsa kita, terutama kaum pergerakan yang mendambakan kebebasan mengeluarkan pendapat. Buktinya tidak lama kemudian Tjokroaminoto dari “Sarikat Islam” telah menerbitkan harian Oetoesan Hindia. Nama Samaun (golongan kiri) muncul dengan korannya yang namanya cukup revolusioner yakni ApiHalilintar dan Nyala. Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara juga telah mengeluarkan koran dengan nama yang tidak kalah galaknya, yakni Guntur Bergerak dan Hindia Bergerak. Sementara itu di Padangsidempuan, Parada Harahap membuat harian Benih Merdeka dan Sinar Merdeka pada tahun 1918 dan 1922. Dan, Bung Karno pun tidak ketinggalan pula telah memimpin harian Suara Rakyat Indonesia dan Sinar Merdeka di tahun 1926. Tercatat pula nama harian Sinar Hindia yang kemudian diganti menjadi Sinar Indonesia.

Raden Mas Djoko Tirtoadisuryo

Adapun Pers di awal kemerdekaan dimulai pada saat era kependudukan Jepang di Indonesia. Dengan munculnya ide bahwa beberapa surat kabar sunda bersatu untuk menerbitkan surat kabar baru Tjahaja (Otista), beberapa surat kabar di Sumatera dimatikan dan dibuat di Padang Nippo (melayu), dan Sumatera Shimbun (Jepang-Kanji). Dalam kegiatan penting mengenai kenegaraan dan kebangsaan Indonesia, sejak persiapan sampai pencetusan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, sejumlah wartawan pejuang dan pejuang wartawan turut aktif terlibat di dalamnya. Di samping Soekarno, dan Hatta, tercatat antara lain Sukardjo Wirjopranoto, Iwa Kusumasumantri, Ki Hajar Dewantara, Otto Iskandar Dinata, G.S.S Ratulangi, Adam Malik, BM Diah, Sayuti Melik, Sutan Sjahrir, dan lain-lain.

Otoritas dari Pers mengalami kemunduran pada masa Demokrasi Terpimpin atau lebih akrab jika disebut sebagai Orde Lama. Pada masa kepemimpinan Soekarno masa itu, amat banyak Media Massa yang harus menyingkir atau disingkirkan perlahan karena menolak untuk mengikuti ideologi dari pemerintahan Demokrasi Terpimpin atau yang Soekarno sebut sebagai Golongan Kiri. Pada 10 Februari 1946, Soekarno mendirikan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang ditujukan untuk mengontrol gerak-gerik Pers di Indonesia. PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan yang diakui pemerintah di masa Demokrasi Terpimpin dikelola oleh wartawan-wartawan berpaham komunis dan yang bersimpati pada paham ini. PKI berusaha menguasai PWI dengan sekuat tenaga karena melalui PWI, SPS, dan Pancatunggal SIT dan SIC dikeluarkan. Dengan demikian dapat menentukan siapa yang bisa diberi SIT dan SIC.

SIT adalah Surat Izin Terbit dan SIC adalah Surat Izin Cetak yang pada masa Demokrasi Terpimpin, amatlah sukar mendapatkannya. Semua penerbit pada tahun 1960 diwajibkan mengajukan permohonan SIT, sebagai pengesahan dillakukannya kegiatan penyiaran. Pada bagian bawah permohonan SIT tercantum 19 pasal pernyataan yang mengandung janji penanggung jawab surat kabar tersebut yaitu jika ia diberi SIT akan mendukung jawab surat kabar tersebut yaitu jika ia diberi SIT akan mendukung Manipol-Usdek (Manifestasi Politik-Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, Kepribadian Indonesia) dan akan mematuhi pedoman yang telah dan akan dikeluarkan oleh penguasa. Pernyataan ini dengan mudah dipergunakan oleh penguasa sebagai alat penekan surat kabar.

Menghadapi rezim Soekarno yang menekan dan mengatur lalu lintas komunikasi massa pada masa itu, Soe Hok Gie yang merupakan cendikiawan ulung yang terpikat pada ide, pemikiran dan terus menerus menggunakan akal pikirannya untuk mengembangkan dan menyajikan ide-ide yang menarik perhatiannya. Dalam pemikirannya, ia tak segan-segan mengkritik jalannya pemerintahan. Tulisan-tulisannya menggugah hati pembaca, menjadikan mereka menyokong sepenuhnya pandangan-pandangan yang ia kemukakan. Jarang ada pembaca yang tidak terpengaruh tulisan-tulisannya. kritik-kritknya dalam artikel-artikel di berbagai media massa yang kritis-tajam dapat meggetarkan hati setiap kalangan, baik yang berada dalam tampuk kekuasaan maupun yang menjadi korban perubahan politik.

Di setiap tulisannya, rasa  idealisme Soe Hok Gie terasa kental. Ia tidak mampu menyembunyikan rasa gundahnya dalam melihat realita masyarakat, jika ia dihubungkan dengan idealisme kaum muda. Bagaimana idealisme setinggi langit menjadi sia-sia belaka ketika harus menghadapi verbalisme, pejabat, dan kepalsuan. Mempertahankan  idealisme ternyata bukan pekerjaan yang ringan, dan itu dirasakannya sendiri ketika ia bergulat dalam catatan hariannya: “Di Indonesia hanya ada dua pilihan. Menjadi Idealis atau Apatis. Saya sudah lama memutuskan untuk menjadi idealis sampai batas-batas sejauh-jauhnya”[1]


Perjuangan dari para penentang rezim Soekarno yang menyuarakan kebebasan berpendapat, akhirnya berhasil membuat Soekarno untuk turun dari tahtanya. Namun, sayang bagi para Pers, nampaknya mereka sama saja seperti hewan peliharaan yang hanya berpindah kandang dari satu majikan ke majikan yang lainnya. Orde Lama tiada, Orde Baru naik tahta, pembungkaman terhadap kebebasan Pers semakin terasa. Bukannya kebebasan yang didapat, malah peluru perak yang siap menerjang para penyambung lidah masyarakat ini.

Di awal kekuasaan Orde Baru, Indonesia dijanjikan akan keterbukaan serta kebebasan dalam berpendapat. Masyarakat saat itu bersuka-cita menyambut pemerintahan Soeharto yang diharapkan mengubah keterpurukan pemerintahan orde lama. Pemerintah pada saat itu harus melakukan pemulihan di segala aspek. Indonesia mulai bangkit sedikit demi sedikit, bahkan perkembangan ekonomi pun semakin pesat. Namun sangat tragis, bagi dunia pers di Indonesia. Dunia pers yang seharusnya bersuka cita menyambut kebebasan pada masa orde baru, malah sebaliknya. Pers mendapat berbagai tekanan dari pemerintah. Tidak ada kebebasan dalam menerbitkan berita-berita miring seputar pemerintah. Bila ada, maka media massa tersebut akan mendapatkan peringatan keras dari pemerintah yang tentunya akan mengancam penerbitannya. Pada masa orde baru, segala penerbitan di media massa berada dalam pengawasan pemerintah yaitu melalui departemen penerangan. Bila ingin tetap hidup, maka media massa tersebut harus memberitakan hal-hal yang baik tentang pemerintahan Orde Baru. Pers seakan-akan dijadikan alat pemerintah untuk mempertahankan kekuasaannya, sehingga pers tidak menjalankan fungsi yang sesungguhnya yaitu sebagai pendukung dan pembela masyarakat. “Pada masa orde baru pers Indonesia disebut sebagai Pers pancasila. Cirinya adalah bebas dan bertanggungjawab”. (Tebba, 2005 : 22).

Namun pada kenyataannya, tidak ada yang namanya kebebasan sama sekali. Tanggal 21 Juni 1994, beberapa media massa justru dibredel setelah mengeluarkan laporan investigasi tentang berbagai masalah penyelewengan yang dilakukan beberapa pejabat negara. Tempo, salah satu badan penerbitan sekaligus media massa yang pada masa itu bisa dikatakan paling masif dalam menyuarakan kebejatan pemerintah, juga sebagai salah satu media massa yang dibredel pada tahun 1994 tersebut, nampaknya berusaha bangkit setelah pembredelan bersama para pendukungnya, yakni anti rezim Soeharto.

Sebelum dibredel, Tempo merupakan majalah berita mingguan yang paling penting di Indonesia. Goenawan Mohammad selaku pemimpin editornya saat itu, merupakan seorang penyair dan sosok intelek yang cukup terkemuka di Indonesia. Pemerintah Orde Baru memang selalu was-was terhadap Tempo, sehingga majalah ini selalu dalam pengawasan pemerintah. Majalah ini memang popular dengan independensinya yang tinggi dan juga keberaniannya dalam mengungkap fakta di lapangan. Selain itu kritikan- kritikan Tempo terhadap pemerintah dituliskan dengan kata-kata yang pedas dan bombastis. Goenawan pernah menulis di majalah Tempo, bahwa kritik adalah bagian dari kerja jurnalisme. Motto Tempo yang terkenal adalah “ enak dibaca dan perlu”. Meskipun berani melawan pemerintah, namun tidak berarti Tempo bebas dari tekanan. Apalagi dalam hal menerbitkan sebuah berita yang menyangkut politik serta keburukan pemerintah, Tempo telah mendapatkan berkali-kali peringatan. Hingga akhirnya Tempo harus rela dibungkam dengan aksi pembredelan itu.

Namun setelah pembredelan 1994, wartawan Tempo aktif melakukan gerilya, seperti mendirikan Tempo Interaktif atau mendirika ISAI (Institut Studi Arus Informasi) para tahun 1995. Perjuangan ini menunjukan komitmen para wartawan Tempo untuk menjunjung tinggi kebebasan dan hak Pers yang dibelenggu pada zaman Orde Baru. Setelah Orde Baru tumbang pada tahun 1998, banyak media massa yang terbit kembali setelah dibredel oleh pemerintah Orde Baru salah satunya tentu saja adalah majalah Tempo.

Tumbangnya Orde Baru berarti merupakan lahirnya era Reformasi. Tuntutan Reformasi menggema keseluruh aspek kehidupan bernegara termasuk sektor kehidupan Pers. Selama Rezim Orde Baru maupun Orde Lama, Pers terbelenggu akan peraturan peraturan pemerintahan yang berlaku. Pers Indonesia tak berdaya karena senantiasa berada dibawah bayang bayang ancaman pencabutan surat izin terbit.

Sejak era Reformasi, Pers Indonesia mulai menikmati kebebasan berpendapat. Dewan Pers diaktifkan dan dimaksimalkan kinerjanya sesuai tujuh fungsi Dewan Pers sesuai yang diamanatkan dalam Undang Undang. Banyak media massa baru yang bermunculan setelah pemerintah mengeluarkan Undang Undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers karena dirasa bahwa peraturan ini adalah sebuah kemajuan jika dibandingkan dengan undang undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang nomor 21 tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pers. Dalam Undang-Undang yang baru, dengan tegas disebutkan bahwa adanya kemerdekaan Pers sebagai Hak Asasi Warga Negara. Itu sebabnya tidak lagi disinggung perlunya surat izin terbit terhadap Pers Nasional sebagaimana tercantum pada pasal 4 ayat 2.

Media massa adalah suatu alat yang digunakan seseorang untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat luas. Media massa juga merupakan media yang selalu menjadi perhatian masyarakat. kehidupan masyarakat pada masa sekarang ini hampir tidak pernah lepas dari media massa baik itu televisi, Koran, radio, atau internet. Keefektifan serta peranannya yang begitu hebat menjadikan media massa menjadi salah satu komponen penting bagi pembentukan kepribadian masyarakat.


Pers pada masa penjajahan baik Jepang maupun Belanda, masih sedikit dan diawasi dengan ketat oleh pihak penjajah itu sendiri. Pers pada masa demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin (orde lama) mulai menikmati kebebasan pers yang lebih luas namun pers pada masa orde lama lebih cenderung digunakan sebagai sarana untuk menyiarkan kebijakan pemerintah maupun partai oposisi. Pers pada masa orde baru mirip pada masa orde lama, dan banyak terjadi pembredelan media cetak yang tidak sesuai dengan ‘selera’ presiden pada masa reformasi kegiatan jurnalisme telah dilindungi Undang-Undang Penyiaran dan Kode etik pers, selain itu pers juga menjadi lebih terbuka dalam menyampaikan pemberitaan karena tidak ada lagi ancaman pembredelan seperti dulu.

Mari kita sama-sama berjuang dan membuktikan bahwa reformasi Pers bukan hanya tentang kebebasan. Kebebasan juga sudah menjadi kewajiban untuk dibatasi dengan tanggung jawab. Pers Indonesia butuh suatu acuan, bukan hanya sasaran distribusi untuk keuntungan mereka sendiri, tapi juga kesadaran bahwa informasi yang diterbitkan relevan dengan kenyataan. Karena sesuai dengan 9 elemen jurnalistik yang dirumuskan oleh Bill Kovach, bahwa loyalitas wartawan ada pada masyarakat, oleh karena itu wartawan harus menjaga independensinya dalam memantau kekuasaan dan menyambung lidah yang tertindas sehingga dapat menghasilkan konten jurnalisme yang tak hanya memikat dan relevan, tapi juga proposional dan komprehensif.




[1] Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran (Jakarta : LP3ES,1983) hlm.221.

Tuesday, January 10, 2017

Problematika PERS Reformasi | #SERIT

7:13 PM


Terhitung sejak turunnya rezim Orde Baru di tahun 1998, atau lebih spesifiknya sejak pemerintah mengesahkan Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, nampaknya Pers sudah menjadi bagian yang amat vital dalam kehidupan bernegara. Terlebih di zaman yang serba digital saat ini, informasi bukan hanya harus akurat tapi juga dituntut harus serba cepat. Jika di zaman Orde Baru Pers ditekan untuk menjadi anjing peliharaan pemerintah, kini Pers ditekan untuk mengedepankan layanan publik sehingga mampu menghadirkan informasi-informasi secara lugas tapi juga terkomersialkan.
            
Memang rasanya dewasa ini bila berbicara tentang kehidupan Pers, tak bisa disangkal lagi bahwa amat erat kaitannya dengan komersialisasi informasi. Tidak munafik memang bila nyatanya sebuah badan Media Massa tentunya memerlukan uang minimal untuk menghidupi badan itu sendiri. Bisa kita lihat secara kasat mata ditiap-tiap pojok koran atau majalah ibukota pasti terdapat sebuah iklan komersial yang termasuk dari roda perekonomian negara. Atau lihat saja tayangan sebuah program berita di televisi, silahkan hitung perbandingan dari berita yang disuguhkan dengan jeda iklan komersial yang ditampilkan secara selang beberapa menit. Nyatanya jarang ada program tayangan berita yang masih menjaga jumlah berita yang disuguhkannya agar lebih banyak dibandingkan iklan komersial yang ditampilkan. Sekalipun ada, pasti itu berita-berita yang laris sebagai konsumsi publik seperti berita pemilu maupun sidang kasus yang dibuat layaknya sinetron yang sebenarnya hanya sebuah pengalihan isu. Sisanya, berita-berita penuh drama yang dibumbui sendiri oleh pihak Media agar rasanya lebih menarik bagi para penonton.
            
Sebuah badan Media Massa di era ini tak dapat hidup hanya dari peran penyambung lidah masyarakat. Miris jika mendengar bahwa faktanya sebelum sebuah berita dinaikkan ke publik, tingkat rating yang menjadi acuan pertama dalam pertimbangannya. Apakah sebuah berita layak untuk dipublikasikan, prediksi jumlah konsumen lah yang menentukan. Bisa kita lihat bahwa berita berita sensasional yang nyatanya kurang relevan dengan fakta di lapangan namun bisa dengan maraknya di publikasikan. Sulit memang untuk kita temukan sebuah badan Media yang benar benar memegang teguh prinsip dari 9 dasar elemen jurnalistik yang dikemukakan oleh seorang Bill Kovach. Karena pada kenyataannya, setelah kebebasan berpendapat melalui pasal kemerdekaan Pers sebagai Hak Asasi Warga Negara dicantumkan dalam undang-undang, kini Pers tak lagi dibawah ancaman pembredelan oleh pemerintah. Hampir tak ada lagi kemurnian loyalitas pada masyarakat pada jiwa Pers pasca reformasi.
            
Jika menilik kilas balik pada 22 tahun yang lalu, dimana banyak media yang dicabut izin peredarannya oleh pemerintah, nyatanya pada saat itu lah dimana sebuah badan media benar benar menaruh perhatiannya pada masyarakat. Saat itu lah dimana jiwa Pers disetiap wartawan nasional menjaga independensinya tetap loyal pada masyarakat. Dimana Pers secara murni menjadi anjing pengawas akan kekuasaan yang dipegang oleh pemerintah, sekaligus menjadi lidah bagi mereka yang tertindas akan rezim yang berkuasa. Kita harus rindu, kita harus butuh, terlebih bagi seorang wartawan era ini yang mau tak mau harus menjaga nuraninya dalam sebuah rapat redaksi.
            
Penulis yang bercita-cita untuk menjadi seorang wartawan ini pun memiliki harapan, bahwa suatu saat, Pers Indonesia bisa untuk menempatkan loyalitasnya secara murni kepada masyarakat. Tak hanya mengincar materiil semata, namun juga menempatkan diri sebagai forum publik juga sebagai wadah akan aspirasi setiap warga negara. Dewan Pers pun sudah sewajarnya untuk rutin dalam melakukan resolusi setiap tahunnya. Mengingat perkembangan teknologi yang sangat pesat mengkuti perkembangan zaman, kebutuhan sebuah badan media pun akan terus berkembang mengikuti. Mari kita buat cita-cita Pers Nasional yang belum tercapai pada masa Orde Baru dapat terwujud di era ini. Yaitu Pers yang memiliki ciri bebas dan bertanggungjawab. “Pada masa orde baru pers Indonesia disebut sebagai Pers pancasila. Cirinya adalah bebas dan bertanggungjawab”. (Tebba, 2005 : 22).
            
Sebagai tambahan, kita sebagai masyarakat sekaligus konsumen juga harus menjadi gatekeeper bagi diri kita sendiri. Kita wajib untuk memilih dan memilah informasi-informasi mana yang bisa kita serap, mana yang harus diolah terlebih dahulu, dan mana yang informasi yang tidak relevan dengan fakta di lapangan. Biasakan untuk melakukan cross-references sebelum menyerap sebuah informasi yang didapat. Dengan begitu, mungkin dapat membantu perkembangan Pers Nasional ke arah yang lebih baik karena media pun sadar, bahwa masyarakat berhak untuk mendapatkan pesan-pesan komunikasi massa yang bermutu dan itu adalah kewajiban dari masing-masing Media Massa untuk memenuhinya

            
Reformasi bukan sekedar ucapan belaka. Segala sektor wajib kita benahi bersama. Politik, Ekonomi, Budaya, hingga tak ketinggalan sektor Media Massa. Bukan hanya pemerintah, bukan hanya badan media, tapi juga setiap warga negara mengemban amanat. Amanat dari pancasila yang memegang teguh prinsip kebebasan yang bertanggungjawab. Media Massa kini mungkin dimiliki oleh partai politik, tapi bukan berarti ia menjadi kuda untuk berpacu di kursi pemerintahan. Dan mari, sekali lagi, kita kembalikan loyalitas wartawan pada tempatnya.

Wednesday, November 30, 2016

Why Should We Buy The Originals? | #SERIT

3:13 PM
Kenapa harus bayar ketika kita bisa dapat gratis? Kenapa kita harus membeli ketika kita bisa mencari? Kenapa harus original ketika bajakan sudah tersedia?




Kira-kira seperti itulah mindset dari kebanyakan orang di Indonesia. Gue ga bilang salah, hanya saja kalimat-kalimat diatas, tergantung dimana mereka ada, di dalam kondisi seperti apa mereka diucapkan, barulah bisa kita nilai, benar? atau salah?

ORIGINAL. Film, musik, video, games, furniture, sparepart, tas, sepatu, pakaian, dan lain-lain sebagainya yang bisa kita konsumsi, hampir semua itu memiliki sesuatu yang dinamakan BRAND, LABEL, atau MERK.

Ada dua orang membuat barang yang sama, namun berbeda kualitas. Sebut saja "A" dan "B". Si A membuat barang dengan memprioritaskan segi kualitas. Sedangkan si B membuat barang dengan memprioritaskan segi kuantitas. So, antara si A dan si B, jika mereka menjual barang mereka dengan harga yang sama, jelas si B akan lebih diuntungkan karena dia lebih banyak membuat barang dibanding si A. Lalu, bagaimana si A yang bekerja lebih teliti dan membuat barang yang lebih sempurna dibanding si B dapat mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari si B?

Yap, si A harus menjual barang tersebut dengan harga yang jauh lebih mahal dibanding si B.

lah, yang ada malah orang-orang gamau beli punya si A dong? mendingan beli punya si B yang harganya lebih murah.

Jika kalian membaca kalimat barusan sambil menganggukan kepala, selamat, maka kalian termasuk sebagai "kebanyakan orang di Indonesia" yang gue maksud di paragraf kedua tadi.

Oke, kesampingkan intermezzo tentang si A dan si B barusan. Sekarang gue mau membahas tentang "kebanyakan orang di Indonesia".

Indonesia, negeri dengan 200 juta jiwa dan dengan jutaan seniman didalamnya, nyatanya hanya secuil dari seniman-seniman itu yang dapat menikmati hasil jerih payahnya dalam proses membuat sebuah karya. Sisanya? mereka harus menelan ludah karena ada si "B" yang datang dan membuat karyanya dapat dinikmati oleh semua orang tanpa orang yang menikmati tersebut tau, bahwa si seniman ini menangis dalam hati dan merasa hampa tak dihargai.

Ya, "kebanyakan orang di Indonesia" inilah yang seringkali menunggu bahkan mencari akan kedatangan si "B" untuk mendapatkan sebuah karya tanpa perlu mengeluarkan banyak biaya.

Dan dialah si "B". "pemBajak".

KENAPA HARUS ORIGINAL? 

Sebelum masuk ke bahasan diatas, ada baiknya kalo gue terlebih dahulu membahas

APA ITU ORIGINAL?

Menurut wikipedia:
Originality is the aspect of created or invented works by as being news or novel, and thus can be distinguished from reproductions, clones, forgeries, or derivative works.[citation needed] An original work is one not received from others nor one copied from or based upon the work of others.[citation needed]. It is a work created with a unique style and substance. The term "originality" is often applied as a compliment to the creativity of artistswriters, and thinkers.[citation needed] The idea of originality as we[who?] know it was invented by Romanticism,[1] with a notion that is often called romantic originality.[2][3][4]
The concept of originality is culturally contingent. It became an ideal in Western culture starting from the 18th century.[5][6] In contrast, at the time of Shakespeare it was common to appreciate more the similarity with an admired classical work, and Shakespeare himself avoided "unnecessary invention".[5][7][8]
 So, karya yang original adalaaaaaahhhhhh??

Oke, ini menurut gue pribadi sih. Gue ga tau kalo kalian mungkin punya pendapat yang berbeda tentang ORIGINALITAS, mungkin bisa share pendapat kalian di kolom komentar nanti.

Karya yang original adalah karya yang jika kita membeli karya tersebut, maka uang yang kita gunakan untuk membeli karya itu akan tersampaikan kepada sang seniman.

Jadi, karya yang original itu harus berbayar?

NGGAK!

Originalitas tidak menentukan harga, tapi menentukan kualitas. Harga ditentukan oleh sang seniman (atau manajer jika sang seniman memiliki manajer). Tak sedikit seniman yang menyebarluaskan hasil karya kepada dunia secara cuma-cuma.

TERUS RUGI DONG KALO DIBAGIIN GRATIS?

Secara materi? YA. tapi secara marketing? TERGANTUNG. Itulah marketing, semuanya tergantung kepada mindset si pembeli. Tipe mana dia? Kalo dia adalah tipe "kebanyakan orang di Indonesia" yang sebelumnya kita bahas, maka hancurlah sang seniman itu. Tapi, kalo mereka adalah tipe orang "kedua", tipe yang mampu menghargai seniman-seniman yang mereka sayangi, disitulah target si seniman saat ia menyebarluaskan karyanya secara cuma-cuma tercapai.

Ketika tipe orang kedua ini telah menikmati karya si seniman dan menyukainya, maka ketika suatu waktu sang seniman ini membuat karya yang lain dan menjualnya kepada orang tipe kedua, maka dengan senang hati tipe orang kedua akan membeli karya tersebut karena ia menghargai dan menyayangi sang seniman dan karyanya tersebut.

Balik lagi,

KENAPA HARUS ORIGINAL? 

Mendapatkan sesuatu yang Original dengan cara yang LEGAL, menurut gue adalah suatu bentuk penghargaan kita kepada seniman yang kita cintai. Rasa hormat kepada seniman yang telah membuat sebuah karya untuk memanjakan para penikmat karya tersebut.

Mulai dari sini, gue akan mempersempit ruang gerak bahasan kita menjadi

ORIGINAL ALBUM

To be honest, gue membuat artikel ini dalam rangka menyambut 2 Album yang gue tunggu-tunggu di tahun ini. 3 Maret 2016, Kirameki no Kakera Album yang dirilis oleh Manajemen Sakura Gakuin dan 1 April 2016, METAL RESISTANCE Album yang dirilis oleh BabyMetal Official. Tapi bukan itu yang pengen gue bahas. Bahasan gue balik lagi ke:

"kebanyakan orang di Indonesia" yang mendapatkan album musik ORIGINAL dengan cara yang TIDAK LEGAL/ILLEGAL. BOOM!

Gini gini... pernah gak kalian punya kenalan atau bahkan kalian sendiri melihara binatang, anggeplah kalian melihara kucing, kalian sayang sama kucing itu, kalian ga mau kucing tersebut kotor atau sakit, karena itu kalian membuatkan tempat untuk si kucing tersebut membuat kotorannya dan kalian juga membelikan makanan khusus untuk si kucing.

Membuat tempat untuk si kucing membuang kotoran itu tentulah memerlukan modal. Setidaknya modal tenaga yang keluar. Dan gue udah survey kalo satu kaleng makanan kucing itu harganya bisa mencapai 400ribuan. (itu yang murah) Lebih mahal dari makanan kita sehari-hari.

Or, let's take it more simply. Gue yakin kalian disini pernah tau atau bahkan pernah punya yang namanya Tamiya? Tamiya jalannya pake apa?? Pake Baterai. Jalannya dimana?? Di trek tamiya. Baterainya beli kan? Trek tamiyanya juga beli kan? atau kalo misalkan kalian bikin sendiri treknya, tetep aja bahannya gak gratis kan?

Nah, analogi barusan adalah contoh dari pengorbanan kita terhadap apa yang kita sukai dan cintai. Jadi menurut gue, aneh kalo kalian mengaku suka dan cinta terhadap seorang seniman tapi kalian gak mau berkorban untuk sang seniman. Kalian cuman mau menikmati karyanya tanpa ada timbal-balik dari kalian untuk si Seniman.

Kenapa kita bisa dan mau mengorbankan uang yang sangat banyak untuk seekor kucing atau membeli satu set batu baterai dan dinamo hanya untuk menyalakan sebuah Tamiya, tapi kita nggak bisa mengeluarkan uang untuk menghargai seorang seniman? kenapa?

Oke, ini opini gue. Makanan kucing, Dinamo Tamiya dengan Album Musik memiliki perbedaan yang signifikan. Perbedaannya ialah MEDIA. Mereka memiliki media yang berbeda.
Jika makanan kucing dan dinamo tamiya merupakan hard media yang dapat dilihat, disentuh, dan dirasakan. Maka album adalah sebuah karya hard media yang berisi soft media. soft media memiliki ciri-ciri yang hanya bisa dilihat dan dirasakan. Tanpa disentuh, soft media sudah bisa dinikmati oleh penikmatnya.

INTERNET memiliki peranan besar dalam penyebaran original soft media secara ILLEGAL. This is globalization era. Orang-orang dapat dengan bebas menemukan karya yang mereka sukai dan mengunduhnya sebagai soft media ke hard drive mereka sendiri.

iTunes merupakan penyedia karya-karya yang berbentuk soft media legal terbesar di dunia. Mereka mempunyai data penjualan berbagai karya-karya para seniman di dunia termasuk di Indonesia. Dan ini adalah berbandingan antara penjualan karya-karya di Indonesia dengan di negara-negara yang lain.

USA

UK (Inggris)

Jepang

Indonesia

Did you see that?

Perbandingan antara penjualan di ITunes USA, UK, dan Jepang dengan penjualan di ITunes Indonesia. Bagaikan kerak bumi dengan langit ketujuh. JAUH.

Harga album atau single musik terlalu mahal untuk orang-orang Indonesia??

Ada sebuah kutipan:

Kalo kamu terlahir miskin, itu bukan kesalahanmu. Tapi kalo kamu mati dalam keadaan miskin, itu kesalahanmu.
Kutipan dari siapa gak perlu gue kasih tau, mungkin udah banyak yang denger tapi gue cuman mau bilang: Salah siapa kalian miskin di era Globalisasi ini???

Gue bikin tulisan ini juga bukan buat bocah-bocah yang masih sekolah dan minta uang ke orang tua, tapi yang gue maksud adalah mereka yang sudah sanggup untuk bekerja, sudah sanggup untuk berkarya, sudah mampu untuk menanggung beban kehidupannya sendiri, tapi masih jatuh kedalam lubang kemiskinan. ITU SALAHMU...

Jadi buat yang masih sekolah, well, find your passion from now. Karena yang bakal bikin kalian kaya itu bukan bagaimana kalian belajar disekolah, tapi bagaimana kalian mengembangkan bakat dan passion kalian di lingkungan kalian. Bagaimana kalian bisa membuat orang-orang nantinya menghargai kemampuan yang kalian miliki karena sudah kalian asah dari sekarang.

Dan kalo udah kaya, jangan jadi "kebanyakan orang di Indonesia" yang tadi.

So, that's all about my opinion. Why Should We Buy The Originals? I think, it's all about the respect. And how about you? Let's see your comment below.

And for the last, see you on my next post. Bye!!

Tuesday, November 29, 2016

Berani Untuk Didengar | Resensi JURU BICARA - Pandji Pragiwaksono

2:17 AM
*note* JADI INI SEBENERNYA BUAT TUGAS KULIAH GUE, DARIPADA MUBAZIR CUMAN BUAT MASUK KE NILAI TUGAS, MENDING MASUKIN KE BLOG GUE JUGA KAN 

Judul Buku: JURU BICARA

Penulis: Pandji Pragiwaksono

Penyunting: Eka Saputra & Nurjannah Intan

Penerbit: PT Bentang Pustaka

Cetakan: Pertama, 2016

Jumlah Halaman: x + 182 halaman

=========================================================

ULASAN SINGKAT
Sesuai dengan judul bukunya, didalam JURU BICARA Pandji sang penulis buku ini mengajak kita untuk bersama-sama meluaskan sudut pandang kita agar dapat memberanikan diri untuk mengeluarkan berbagai aspirasi yang ada yang ada di pikiran kita secara bebas dan terbuka, namun tetap dapat kita pertanggungjawabkan keabsahan dan orisinalitasnya.

Karena pada zaman dimana media sosial kini telah menjadi salah satu media yang paling banyak digunakan sebagai media untuk mengkomunikasikan isi pikiran kita kepada orang orang yang tak terjangkau oleh kita untuk bertemu tatap muka, pada kenyataannya masih banyak orang yang takut untuk berpendapat karena merasa apa yang akan dia sampaikan berbeda dengan keyakinan yang ada di masyarakat. Takut bahwa suaranya akan tak didengar atau bahkan tenggelam oleh riuhnya pembicaraan lain yang dianggap lebih penting.

Dari buku ini pula kita dapat belajar bahwa dengan menulis, kita bisa membuat orang lain membaca; dan selama ada yang membaca, maka ada yang belajar; dan selama ada yang belajar, maka masih ada harapan akan kemajuan di indonesia. Apa yang mungkin kita anggap tidak penting untuk disampaikan, bisa jadi merupakan sesuatu yang amat penting bagi orang lain yang ingin mendengarkan.

Melalui buku ini, kita dianggap untuk meningkatkan martabat bangsa dengan meningkatkan martabat pribadi. Keberanian untuk mengkritisi sesuatu menjadi kunci bagi kita sebagai makhluk sosial untuk dapat memahami, menerima, dan belajar untuk berani berbicara demi martabat bangsa Indonesia.

=========================================================

KEUNGGULAN
Sebagai seseorang yang berkutat di dunia komersialisasi aspirasi melalui komedi, secara pribadi saya sangat menyukai setiap diksi yang digunakan oleh penulis dalam merangkai kata dan bahasa agar dapat dengan mudah dicerna setiap intisari kalimatnya oleh berbagai kalangan pembaca. Nilai-nilai positif juga pesan yang ingin disampaikan melalui tulisannya, dapat berlaku bagi setiap target market pembacanya.

=========================================================

KELEMAHAN
Karena Pandji menulis buku ini sesuai dengan apa yang dia alami selama kehidupannya, mungkin akan ada beberapa pemahaman dan interpretasi yang berbeda-beda karena tidak semua manusia memiliki sudut pandang yang sama ketika berusaha untuk memahami sesuatu. Selain itu banyak juga informasi informasi tanggung yang pada akhirnya akan merujuk kepada karya-karyanya yang lain sehingga membuat orang-orang yang belum mengkonsumsi karya-karyanya yang terdahulu merasa mendapatkan informasi yang baru setengah jalan.

=========================================================

KESIMPULAN DAN BEBERAPA POINT YANG PENTING
Saya secara pribadi sangat menyukai dimana penulis melihat bahwa tingkat intelektualitas seseorang akan terlihat dari cara ia menyikapi suatu perbedaan atau perselisihan pendapat. Terhitung 4 kali ia menuliskan kalimat bahwa “orang minder mudah tersinggung” yang mana memiliki arti lain bahwa ketika kita telah memahami akan sebab dari perbedaan yang terjadi, maka kita akan dapat menerima perbedaan tersebut tanpa harus ada perselisihan sebelumnya. 

Namun, tak ada yang sempurna, ada satu bab yang saya rasa kurang pantas untuk dikonsumsi atau bahkan dipublikasi karena dilihat dari judulnya saja sudah mengandung kata-kata yang tak pantas untuk diucapkan secara norma dan etika berbahasa. Tepatnya pada bab ke-26 di halaman ke-131.

Tapi secara keseluruhan, buku ini dapat membuka pemikiran kita yang mungkin masih kurang luas untuk mengkritisi segala aspek kehidupan entah itu aspek sosiologis, historis, maupun komersialisasi publik yang bisa dikatakan seluruhnya berguna sebagai dasar kita untuk bersosialisasi yang bertanggungjawab.

Pandji mengajarkan kita lewat bukunya sebuah arti dari kebebasan yang bertanggungjawab terutama dalam hal berkomunikasi.

=========================================================

KUTIPAN FAVORIT
Ada beberapa baris kalimat yang saya suka dari buku ini, dan diantaranya adalah sebagai berikut:

“Karena surga dunia adalah ketika kita bisa hidup dari karya kita, dari apa yang kita cintai” (Halaman 34)



“Love finds its entrance from one’s passion. One way to attract the opposite sex is to see you glow while you are passionately working on your passion.” (Halaman 163)

“Semua orang bebas ngomong apa pun, selama siap bertanggung jawab atas omongannya.” (Halaman 56)

“Usaha mempersatukan bangsa TIDAK ADA GARIS AKHIRNYA. Tidak ada ujungnya. TIADA HENTI. Selama negara itu berdiri, perjuangannya harus terus terjadi.” (Halaman 21)

“I know who I am. I am not what they say. A stupid person does not achivie the things I have achieved.” (Halaman 107)


“Kalau Anda sedang berproses, kemudian ada yang mengkritik karya Anda, maafkan dia. Hidup yang instan membuatnya gagal untuk memahami nilai sebuah proses.” (Halaman 124)

FakhriTaka

Fakhri Taka adalah seorang mahasiswa yang hobi main kartu remi, ngopi, dan nonton serial teletubbies. Sekarang lagi sibuk sibuknya nyari cara agar bisa tidur sebelum tengah malam sambil meneliti obat tidur mana yang cocok buat ditenggak.




Recent

recentposts

Random

randomposts